Ketika kedua mata Aya terbuka tadi pagi, ia mencari keberadaan Arland. Wajahnya tampak panik saat tidak bisa menemukan cowok itu di sekitarnya. Butuh usaha yang cukup besar bagi dua suster yang menjaga Aya untuk menenangkannya. Termasuk Kenji yang tanpa henti memeluk Aya.
Sampai sekarang pun gadis itu terlihat murung. Hanya dua suap makanan yang berhasil masuk ke mulutnya. Disodorkan buku gambar pun, Cahaya sama sekali tidak mau menyentuhnya. Pandangannya selalu mengarah ke jendela di samping ranjangnya.
"Halo, Cahaya," sapa dokter Kai yang baru tiba. Pria paru baya itu duduk di tepi ranjang, sebelah Aya.
Sang empunya menoleh ke arah dokter Kai hanya dengan sekali panggil. Namun, tetap saja rautnya sama sekali tidak bersemangat.
"Bagaimana keadaan Cahaya sekarang?" tanya dokter dengan ramah.
Aya tidak menjawabnya.
"Kata suster, semalam Cahaya menggambar, ya? Boleh dokter liat?"
Tanpa menjawab, Aya meraih buku gambarnya yang terletak di nakas. Lalu menyerahlannya ke dokter dengan lesu.
"Wah, bagus gambarnya Cahaya. Dokter aja enggak bisa gambar sama sekali," kata dokter Kai sambil membalik setiap lembarnya.
"Ini siapa?" Dokter Kai berhenti di lembar terakhir yang ada gambar sebuah wajah laki-laki di sana.
"AR," sebut Aya pelan.
"AR? Siapa itu?" tanya dokter.
Aya belum menjawab. Dia memandangi gambar wajah laki-laki di buku gambarnya. Beberapa detik setelahnya baru lidahnya bergerak.
"Ar ... land," jawabnya.
Dokter Kai menyentak pandangannya ke Aya. Keningnya berkerut lantaran merasa femiliar dengan nama yang disebutkan Aya barusan.
"Arland?" ulang dokter hendak klarifikasi.
Tanpa disangka-sangka, Aya menjawab dokter Kai dengan anggukan semangat. Ekspresi wajahnya juga berubah semringah. Tidak hanya itu, karena Aya mengambil buku gambarnya dari tangan dokter Kai. Dia mengusap wajah Arland di lembar itu.
Dokter Kai memperhatikan raut wajah Aya. Pria itu tampak berpikir.
"Cahaya ... dokter keluar sebentar, ya. Dokter mau bicara dulu sama Kenji. Nanti Cahaya ditemenin suster Dian dulu, ya," ujar dokter Kai yang sama sekali tidak digubris oleh Aya. Sebab gadis itu masih saja fokus dengan gambarannya.
Kemudian dokter Kai keluar kamar Aya. Setelah meminta suster menemani Aya, ia menghampiri Kenji di ruang tamu.
"Gimana, dok?" tanya Kenji sambil mempersilakan dokter Kai duduk di sofa.
"Sejauh ini emosinya sudah lumayan stabil. Tapi mood-nya itu masih suka berubah-ubah. Wajar sih. Namun, alangkah baiknya jika perasaan Cahaya itu selalu senang. Dan ... saya menemukan perasaan itu ketika nama Arland dia sebut," jelas dokter Kai.
Kenji sedikit terkejut. "Cahaya menyebutkan nama Arland?"
Dokter Kai mengangguk. "Apa sebelumnya Cahaya tidak pernah melakukan hal itu?"
"Selama depresinya kambuh ini, tidak ada nama yang pernah Cahaya sebut. Hanya inisial AR yang pernah sesekali dia ucapkan," ucap Kenji.
"AR itu Arland?" tebak dokter Kai. Dan dianggukan oleh Kenji.
Dokter Kai terus berpikir. Pemandangan yang membuat Kenji merasa penasaran.
"Wajah dokter kenapa? Apa ada hal lain yang dokter harus sampaikan tentang kondisi Cahaya?"
"Bukan, bukan. Tapi soal Arland ini ... saya juga punya pasien dengan nama yang sama. Apa bisa kamu hubungi orang ini dan menyuruhnya datang menemui Cahaya? Saya rasa itu hal yang baik untuk perkembangan psikologisnya Cahaya," terang dokter Kai.
Wajah Kenji jelas sekali tidak menyetujui saran dokter. Akan tetapi jika memang benar kehadiran Arland bisa menyembuhkan Aya dengan cepat, maka bagaimanapun pria itu harus menghilangkan keegoisannya untuk tidak menerima Arland di dekat Aya.
"Arland adalah teman kampus Cahaya, dok. Dan ... Cahaya menyukai Arland," ungkap Kenji sedikit ragu.
Kemudian terlintas sebuah ingatan di benak Kenji tentang pertemuannya dengan Arland di rumah sakit kala itu. Meskipun belum pasti, tetapi sepertinya Arland juga akan mendatangi ruangan Kai mengingat ia duduk di depan ruangannya saat itu.
"Oiya, dok. Beberapa waktu lalu saya dan Cahaya pernah bertemu Arland ini di dekat ruangan dokter Kai. Apa mungkin dia orang yang sama? Dan jika iya, kenapa Arland datang ke tempat dokter?" tanya Kenji yang tiba-tiba tersambar rasa penasaran besar.
"Jika memang Arland yang sama, saya tidak bisa memberitahu detail riwayat medis dari pasien saya. Saya yakin kamu juga tau itu. Tapi sekarang ada baiknya Mas Kenji bisa hubungi Arlane untuk datang ke sini menemui Cahaya. Saya akan tunggu di sini untuk bertemu dia dan memastikan apakah Arland ini sama dengan pasien saya."
"Baik, dok, kalau begitu. Saya akan coba hubungi dia," balas Kenji yang kalau boleh memilih tidak ingin membiarkan Arland menemui Aya lagi.
_____
"Gue terpaksa ngelakuin ini. Gue juga enggak mau. Tapi ...." Aurel menghentikan ucapannya. Dia terlihat ketakutan.
"Tapi apa?" tanya Arland memaksa.
"Elo bener yang bilang soal ancaman itu. Keluarga Erik akan melakukan apapun kalo sampai gue bersaksi hal yang sebenernya ke polisi. Gue takut," ungkap Aurel pada akhirnya.
Kedua tangan Arland terkepal kuat. Dia memang sudah menduganya, tetapi mengetahui kenyataan ini membuat kemarahannya menjadi berkali lipat.
"Mereka ancam elo apa?"
"Apapun itu. Mereka bilang akan hancurin hidup gue beserta keluarga gue. Dan mereka juga bilang akan bikin gue dikeluarin dari kampus ini. Gue enggak bisa. Gue bukan keluarga kaya yang punya banyak koneksi sehingga bisa nyelamatin gue dari semua ini. Enggak akan ada yang mau bantuin gue," jelas Aurel sedetail mungkin.