Arland masih terduduk di lantai, tepat di sebelah pintu kamar Aya. Salah satu kakinya tertekuk dan sikunya menopang di lutut. Arland benar-benar frustrasi karena sudah melupakan hari penting yang tidak pernah ia lupakan setiap bulannya.
Jarum jam sudah menunjukan pukul 8 malam. Kenji memberi kabar jika suster yang menjaga Aya akan datang jam 9 malam nanti. Termasuk Kenji sendiri yang ternyata harus menyelesaikan urusan lebih lama dari waktu yang sudah ditentukan sebelumnya. Jadi tidak mungkin Arland mengunjugi TPU tempat peristirahatan Naya sekarang.
Cowok itu sudah tidak berurai air mata. Hanya saja sorot matanya kosong dan putus asa. Arland sangat menyesal dan terus menyalahkan dirinya sendiri. Dia merasa bodoh dan jahat pada Naya.
Kemudian suara pintu terbuka berhasil membuyarkan lamunan cowok itu. Arland mendongakan wajahnya dan menemukan Aya yang berdiri di sebelahnya.
"Ngapain duduk di sini?" tanya gadis itu.
Arland memanglingkan pandangannya ke arah lain. Dia juga tidak menjawab pertanyaan Aya.
"Kok, enggak dijawab?"
Cowok itu malah menundukan wajahnya. Arland merasa jika kedatangannya ke apartemen Aya adalah sebuah kesalahan. Seharusnya Arland tidak menemui gadis itu sehingga mengakibatkan dia lupa tentang hari ini. Perasaannya menjadi bimbang.
"Gara-gara kamu saya melupakan hari yang penting," ujar Arland. Entah sadar atau tidak ia mengucapkan kalimat itu. Seolah ada bisikan setan yang tiba-tiba saja memaksanya untuk mengeluarkan kata-kata kasar tersebut.
"Hari yang penting apa?" Aya terdengar polos.
Sontak Arland berdiri. Berhadapan dengan gadis itu dengan tatapan yang sulit diartikan. Marah, sedih, dan bingung.
"Harusnya saya enggak datang ke sini menemui kamu. Karena hari ini adalah hari penting di mana saya harus mengunjungi Naya setiap bulannya. Saya enggak pernah lupa. Tapi gara-gara kamu ... saya melewati hari ini," sungut cowok itu dengan mata yang mulai memerah.
Arland emosi. Dia perlu orang yang patut disalahkan atas kelalaiannya hari ini. Arland lepas kendali sampai dia terpaksa membuang amarahnya di hadapan Aya.
Hening menyelimuti keduanya. Aya membungkam bibirnya rapat-rapat. Perlahan tetapi pasti wajahnya berubah menjadi sedih. Lalu berakhir dengan air mata yang berjatuhan ke pipi.
Melihat pemandangan tersebut membuat jantung Arland terasa berhenti berdetak. Seolah air mata Aya adalah senjata mematikan yang tidak bisa dihalau oleh apapun. Bahkan, kini dadanya Arland terasa amat perih.
Lalu Aya kembali ke dalam kamarnya. Melempar tubuhnya ke atas ranjang dan tenggelam di bawah selimut. Aya menangis tersedu tanpa tahu alasannya. Sebab ketika mendengar Arland menaikan intonasi suaranya seperti tadi, seolah seperti ada ribuan belati tak kasat mata yang menikam hatinya.
Di posisi Arland, seperti ada air yang tiba-tiba mengguyur kepalanya. Dia tersadar atas perbuatannya pada Aya. Tidak seharusnya sepenggal kalimat itu terlontar dari lidahnya. Lantas Arland mengusap wajahnya penuh penyesalan. Kakinya melangkah menghampiri posisi Aya.
"Maafin saya," lirihnya. Arland duduk di tepi ranjang.
Sayangnya, gadis itu masih saja terus menangis tanpa henti. Mirip anak kecil yang habis dimarahi ketika berbuat salah. Kebanyakan pengidap depresi memang seperti itu. Kondisi emosional yang berlebihan. Ada hal kecil yang menyenangkan, akan membuatnya begitu bahagia dan tidak berhenti tersenyum. Sebaliknya, jika ada sedikit saja yang menyinggung perasannya, maka air mata akan tumpah ruah membasahi pipinya. Seperti yang sedang dialami Aya saat ini.
"Saya salah udah berbicara kasar sama kamu. Saya benar-benar minta maaf. Udah ya, nangisnya," kata Arland lagi tetap berusaha menenangkan Aya.
Lantas Arland mencoba untuk menjangkau ujung selimut untuk menariknya perlahan. Dilihatnya Aya yang masih menangis dengan posisi membelakanginya. Lalu Arland memeluk punggung gadis itu secara hati-hati. Takut jika Aya tidak menerima pergerakannya ini. Dan ternyata, Aya hanya diam. Selain itu, tangisannya juga berhenti dalam sekejap.
"Maafin saya, ya. Saya janji enggak akan berbicara kasar lagi sama kamu. Saya yang salah," ucap Arland.
Sontak Aya membalikan badannya menghadap Arland. Aya melingkarkan kedua tangannya di balik punggung cowok itu. Menenggelamkan wajahnya di dada Arland. Begitu erat.
"Gue enggak suka elo marah-marah kayak gitu," ucap Aya terdengar seperti sebuah bisikan.
Arland terkesiap. Dia melonggarkan pelukan untuk bisa menatap wajah Aya dengan benar.
"Kamu ngomong apa barusan?"
"Gue ... enggak suka ... kalo elo ... marah-marah sama gue," ulang Aya dengan jeda di setiap beberapa kata yang ia ucapakan.
Wajah Arland berbinar. Dia kembali menarik wajah Aya untuk tenggelam di dadanya seperti tadi.
"Makasih karena kamu udah kembali seperti Cahaya yang saya kenal," gumam Arland sambil mengelus lembut rambut belakang Aya.
_____
Arland terlelap di sebelah Aya sampai pagi datang. Sebenarnya Kenji maupun suster sudah datang di jam 9. Namun, Kenji sengaja membiarkan Arland tetap berada di sisi Aya.
Di antara keduanya, Arland yang lebih dulu membuka matanya. Dia menemukan Aya yang masih terlelap di sebelahnya. Memandangi wajah Aya begitu lekat.
"Harusnya saya enggak menyalahkan kamu atas kelalaian yang saya buat sendiri. Saya yang salah," ucap Arland di dalam hatinya. Dia masih terus memandangi wajah Aya.
"Justru saya harus berterimakasih sama kamu karena udah menyembukan duka saya yang ada sejak lama. Kamu berhasil membuka dunia saya kembali."