Bertepatan Arland memarkirkan mobil di depan gerbang rumahnya, hujan masih juga belum menyembunyikan dirinya. Malah rintik itu semakin banyak seolah sengaja ingin berlama-lama berada di dunia.
Sialnya, Arland tidak menemukan satu pun payung di dalam mobil. Dia juga sudah berusaha menelepon mbok Ijah untuk meminta diambilkan payung, tetapi wanita tua itu tidak menjawabnya.
"Ada apa?" tanya Aya memperhatikan wajah Arland yang gelisah.
"Di mobil enggak ada payung. Saya juga udah coba telpon orang rumah tapi enggak diangkat."
"Yaudah, kita lari aja," sahut Aya begitu santai. Seolah-olah lebatnya hujan di luar sana sama sekali bukan masalah untuknya.
"Lari gimana? Berarti nanti kamu basah kuyup." Cowok itu tidak setuju dengan ide Aya.
"Paling cuma berapa detik untuk bisa sampai ke dalem rumah. Dari pada kita nunggu di sini? Mau sampai kapan nunggu ujannya berenti?"
Arland berpikir sambil memandangi wajah Aya yang semringah. Padahal dia mengkhawatirkan gadis itu.
"Gimana? Yuk, kita lari aja," ajak Aya sekali lagi.
"Yaudah. Tapi kamu ikutin aba-aba saya, ya. Sebisa mungkin kita harus cepat ke dalam. Kalaupun basah, paling enggak jangan sampai terlalu basah. Oke?"
Gadis itu mengangguk semangat. Entah kenapa wajah Aya malah terbilang antusias dengan idenya ini. Sepertinya dia memang ingin sekali berlarian di bawah hujan.
"Setelah hitungan ketiga, kita keluar bareng-bareng dan langsung lari, ya?" Arland memberikan interuksi. Aya hanya mengangguk.
"Satu ... dua ...." Belum sempat Arland menyelesaikan hitungannya, gadis itu sudah membuka pintu mobil dan keluar dari sana. Dia berlari, tetapi berhenti di depan kap mobil.
Pemandangan yang cukup mengejutkan bagi Arland lantaran Aya yang berputar-putar dengan merentangkan kedua tangan. Kepalanya juga mengadah ke langit sambil memejamkan mata. Aya sangat menikmati hujan yang mengguyur tubuhnya tanpa permisi.
Awalnya Arland terlihat cemas dan ingin marah. Namun, ketika melihat rona bahagia di wajah Aya, keinginan tersebut hilang diembus angin begitu saja. Sudut bibir Arland terangkat sedikit. Dia tersenyum seraya mengembuskan napas lega.
Lantas Arland membuka jaketnya. Dia keluar dari mobil dengan membawa jaket di atas kepalanya. Cowok itu menghampiri Aya.
"Ayo masuk! Nanti kamu masuk angin!" seru Arland dengan suara kencang. Sebab deru hujan lebih mendominasi.
"Seru banget!" Aya sudah menghentikan kesenangannya.
"Udah cukup. Sekarang kita masuk," ujar Arland tanpa ada kemarahan sedikitpun.
Aya mengangguk. Lalu Arland mendekat ke Aya dan membagi payung jaket ke gadis itu. Mereka pun berlari ke dalam rumah. Sekarang keduanya benar-benar basah kuyup.
"Saya enggak punya baju cewek, tapi kamu bisa pakai baju saya di kamar. Biar saya ganti baju di kamar papi saya," ucap Arland.
"Kamar elo di mana?" tanya Aya tanpa ada rasa sungkan sama sekali.
"Lantai dua. Ayo, saya antar kamu dulu."
Aya mengangguk. Arland menggiring gadis itu menaiki anak tangga menuju lantai dua ke kamarnya. Dia membiarkan Aya masuk ke kamarnya. Sedangkan Arland kembali ke lantai bawah menuju kamar papinya. Dia mengetuk, tetapi tidak ada jawaban. Kemungkinan besar kalau papinya sedang tidak ada di rumah.
_____
Aya melangkahkan kakinya perlahan menyusuri setiap sudut kamar Arland. Suasana kamar Arland yang sepi dan tidak banyak pernak-pernik itu membuat kesan nyaman bagi Aya. Gadis itu menyimpulkan senyum. Akan tetapi, tidak ada satupun foto yang terpajang di kamar Arland.
Aya sampai di meja belajar Arland. Hanya ada komputer lengkap dengan keyboard-nya dan beberapa tumpuk buku mengenai kedokteran. Lebih tepatnya buku-buku tentang kanker. Aya penasaran dan mengambil salah satu buku itu. Dia membukanya dengan cepat. Tanpa sengaja ada selembar foto yang terselip di bagian tengah buku.
Seorang gadis berkulit kuning langsat memakai seragam SMA. Rambut sebahu dan memiliki warna hitam legam. Senyumnya tidak begitu lebar, tetapi entah kenapa berhasil membuat perasaan Aya berdesir. Dengan sisi ibu jarinya Aya menyentuh foto itu.
"Ini pasti Naya," gumamnya terdengar seperti bisikan.
Hawa sejuk dari pendingin ruangan sontak membuat bulu kuduk Aya berdiri. Dia baru mulai merasakan kedinginan. Lantas dia segera menuju kamar mandi yang berada di dalam kamar. Tidak begitu lama Aya berada di dalam sana. Sekeluarnya dia mengenakan baju handuk, Aya langsung tertuju ke almari pakaian Arland.
Cukup lama Aya berdiri di dapan almari yang terbuka dengan berbagai jenis pakaian milik Arland. Aya tersenyum memandangi deretan baju-baju itu. Tangannya menyentuh salah satu hoodie abu-abu milik cowok itu. Aya hendak mengambilnya, tetapi secara tidak sengaja dia melihat sebuah album foto usang yang tergeletak di bagian bawah almari.
Aya mengurungkan niatnya mengambil hoodie. Dia lebih penasaran dengan album foto itu. Namun, ketika Aya baru akan membuka album tersebut, suara ketukan pintu kamar membuatnya berjengit kaget. Alhasil Aya mengembalikan album itu ke tempatnya. Dia menutup almari dan membuka pintu.
"Belum selesai?" tanya Arland berdiri di ambang pintu. Dia sudah rapi dengan pakaian yang baru. Rambutnya masih sedikit basah gara-gara hujan tadi.
"Udah mandi, kok. Tapi gue belum pakai baju."
Pernyataan tersebut membuat wajah Arland memerah. Gerak-geriknya juga menjadi sedikit kikuk. Padahal sang empuny terlihat biasa saja.
"Yaudah, cepetan pakai baju. Saya tunggu di bawah."
Aya mengangguk. Dia hendak menutup kembali pintu, tetapi tidak jadi.
"Eh, tunggu deh. Gue mau nanya," sergah Aya sebelum Arland benar-benar meninggalkan posisinya.
"Nanya apa?"
"Tadi gue liat foto di buku yang ada di meja belajar. Itu fotonya Naya bukan?"