Aya kembali ke meja makan untuk melanjutkan makan malamnya. Begitupun Arland yang tidak menyerah dengan mudah untuk mengajak gadis itu pulang. Arland menyusul Aya dan berdiri di sebelahnya.
"Kamu harus pulang sekarang juga. Kamu enggak boleh telat minum obat," ucap Arland masih berusaha.
Sang empunya sama sekali tidak menggubris. Dia terus menyuap nasi goreng ke mulutnya tanpa henti.
"Cahaya." Nadanya terdengar pelan, tetapi tegas.
"Gue enggak mau pulang. Besok aja minum obatnya. Telat sehari juga enggak akan bikin gue gila, kok."
Emosi Arland tidak bisa terbendung lagi. Ucapan Aya sudah keterlaluan. Andai saja gadis itu tahu kalau saat ini perasaan Arland sedang berantakan karena saking cemasnya dia pada Cahaya.
"Kalau gitu terserah kamu. Saya enggak peduli kalau sampai sesuatu yang buruk terjadi sama kamu," ucap Arland geram. Dia meninggalkan Aya di meja makan, menuju kamar papinya.
Seperginya Arland, Aya meletakan sendok dan garpu ke piring dengan asal. Dia kesal karena perlakuan Arland yang terlalu menuntutnya.
"Kapan sih, gue harus berhenti minum obat? Capek tau enggak, disuruh-suruh kayak gini terus." Aya berdecak sebal.
Tidak lama kemudian Arland kembali dengan ponsel di tangannya. Aya menoleh ke cowok itu. Dia masih jengkel.
"Apa lagi? Masih mau nyuruh gue pulang buat minum obat?" omel Aya.
"Kenji lagi di jalan mau ke sini. Dia mau nganterin obatnya."
"Bagus deh, kalo gitu. Jadinya gue enggak perlu pulang dan elo pun udah bisa tenang. Jangan marah-marah lagi. Okay?"
Arland tidak menjawab. Dia hanya mengembuskan napas kecil dan berbalik pergi. Langkahnya membawa Arland sampai ke teras belakang dan duduk di sana.
"Mau ke mana?! Kok, gue ditinggalin lagi?" teriak Aya sambil menyusul Arland ke teras belakang.
Aya tampak kagum dengan suasana halaman belakang rumah Arland yang terasa nyaman. Kolam renang berukuran sedang juga membuat kesan mewah, tetapi asri dengan banyaknya tanaman yang mengelilingi.
"Ternyata rumah elo luas banget, ya. Pengen deh, tinggal di rumah kayak gini. Tapi sayangnya gue cuma sendiri," celoteh Aya sambil mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru halaman. Setelah merasa puas, gadis itu duduk di sebelah Arland.
Cowok itu hanya diam. Memancing Aya untuk menoleh mencari wajah Arland yang datar. "Kok, cuma diem? Masih marah sama gue?"
"Makanya jangan susah dibilangin," sahut Arland tanpa membalas pandangan gadis di sebelahnya.
"Ya, abis elo juga udah kayak Kenji bawelnya," gerutu Aya yang masih tidak mau kalah.
"Terserah kamu aja. Percuma saya jelasin pun, kamu juga tetap kekeh sama pendapat kamu." Arland hendak berdiri, tetapi Aya buru-buru menahan lengannya sehingga cowok itu kembali duduk.
"Sini dulu, sih. Pergi-pergi mulu. Katanya Kenji lagi di jalan mau ke sini. Sambil nunggu kita ngobrol di sini aja."
"Ngobrol apa lagi?"
"Gue mau tanya-tanya soal Naya."
Arland mencari wajah Aya. "Apa yang mau kamu tau tentang Naya?"
"Banyak. Pertama ... gue mau tau Naya orangnya gimana, sih?" Gadis itu menaikan kedua kakinya. Duduk bersila dengan memposisikan dirinya menghadap ke Arland.
Cowok itu yg tidak langsung menjawab. Dia menatap Aya, tetapi pikirannya sedang melayang jauh ke satu tahun yang lalu. Saat wajah Naya masih ada di dunia ini.
"Naya ... gadis yang cerdas. Dia pendiam dan sering gugup waktu pertama kali kami melakukan bimbingan belajar untuk persiapan olimpiade. Tapi ...." Ujung bibirnya terangkat. Dia masih memandang Aya, tetapi sekarang fokus pada gadis itu. Seolah wajah Aya mampu menggantingkan bayang-bayang Naya di benaknya.
"Tapi apa?" tanya Aya penasaran. Dia sangat serius mendengarkan cerita Arland.
"Semakin saya mengenal Naya, ternyata dia cukup suka bicara. Apalagi saat dia ngomel karena mau nunjukin perhatiannya ke saya."
"Terus?"
"Dia juga punya hati yang baik. Bicaranya lembut dan punya senyum yang hangat."
Ekspresi Aya berubah. Yang tadinya dia antusias, malah menjadi cemberut. Dia tampak kesal.