Meskipun ini bukan pertama kalinya mereka tidur dalam satu kamar yang sama, tetap saja Arland masih canggung dengan situasi tersebut. Anehnya lagi, begitu mudah Arland mengatakan 'iya' ketika Aya memintanya untuk tidak keluar dari kamar.
Sekarang Arland sudah berada di sebelah Aya di ranjang yang sama. Kalau Aya terlihat biasa saja, tidak dengan Arland yang sejak tadi tampak gusar. Berbalik ke kiri dan ke kanan pun tidak bisa menghilangkan kecanggungannya. Arland benar-benar tidak bisa tertidur.
"Kenapa, sih? Gelisah banget. Butuh obat penenang? Gue bisa bagi, kok," ucap Aya yang sejak tadi memang sedang memperhatikan Arland.
"Enggak perlu. Cuma gerah aja," jawab Arland jelas sekali kalau dia hanya beralasan. Aya pun mengambil remote AC di meja nakas. Menurunkan suhu benda itu agar Arland tidak merasa kepanasan lagi.
"Gimana? Udah dingin belum? Atau masih gerah?" tanya Aya.
"Cukup." Arland berbalik membelakangi Aya. Dia menarik selimut sampai nyaris menutupi seluruh bagian kepalanya.
Tidak sampai sepuluh detik, cowok itu berbalik lagi menghadap Aya. Menemukan Aya dengan posisi menyamping ke arahnya dengan meletakan kedua telapak tangan sebagai bantalan sisi kiri wajahnya. Gadis itu tidak pernah bosan memandangi apapun pergerakan Arland.
"Ngapain ngeliatin terus? Tidur, udah malam. Katanya besok mau ke kampus," ujar Arland.
"Tadi emang ngantuk banget. Tapi pas udah bangun tadi, malah jadi seger matanya. Elo aja yang tidur kalo udah ngantuk."
"Saya jadi enggak bisa tidur juga."
"Yaudah. Kalo gitu kita ngobrol aja," kata Aya mendadak antusias.
"Ngobrol apa lagi?"
"Kenapa pas di ruang tv tadi, muka lo bete kayak gitu?"
Arland menghela napas pelan. "Enggak usah bahas yang tadi. Yang lain aja."
Aya menggeleng dengan manja. "No. Gue mau denger jawaban jujur dari elo dulu. Kalo enggak, siap-siap aja gue gangguin terus dengan pertanyaan yang sama."
"Kan saya udah bilang, kalo saya enggak apa-apa."
"Tapi itu jawaban enggak jujur. Gue maunya yang sebenar-benarnya." Aya merajuk.
"Kamu tau dari mana saya jujur atau enggak?"
Gadis itu mengarahkan telunjuknya ke ujung mata Arland. "Dari sini."
Sang empunya jadi salah tingkah. "Maksudnya?"
"Selama di rumah sakit waktu itu, gue banyak belajar soal macam-macam ekspresi wajah. Termasuk cara pandang saat orang lagi berbohong," jelas Aya yang tentu saja membuat Arland bungkam seribu bahasa.
"Elo cemburu kan, sama Kenji?"
Arland meneguk salivanya. Dia benar-benar skak mat sekarang. "Enggak. Buat apa saya cemburu?"
Dengan spontan Aya mengangkat kedua bahunya sambil berkata, "gue juga enggak tau buat apa. Tapi yang jelas elo cemburu. Karena muka bete elo itu muncul setelah gue cium pipinya Kenji tadi. Bener, kan?"
Arland semakim gelagapan. "Enggak bener. Kamu salah." Dia berbalik badan lagi demi menghindari kontak mata dengan Aya.
"Kok, gue dipunggungin? Obrolan kita kan, belum selesai?" Diam-diam Aya mengulum senyumnya dengan puas.
"Tiba-tiba saya ngantuk. Saya mau tidur," kata Arland yang sekarang mengerubungi seluruh tubuhnya dengan selimut.