Arland sudah memarkirkan mobilnya di salah satu sudut. Aya keluar lebih dulu. Sejak di dalam mobil tadi, gadis itu terlihat sedikit berbeda. Arland pun menyadarinya.
"Kamu serius mau nunggu di kantin?" tanya Arland untuk memastikan lagi.
"Iya serius." Mereka berjalan beriringan.
Dari kejauhan Riani yang baru tiba di kampus melihat Arland dan Aya dengan tatapan tidak suka. Dia berjalan cepat menghampiri keduanya.
"Land, gue mau ngomong sama elo," sergah Riani menghadang jalan.
"Ngomong soal apa?"
"Gue enggak bisa jelasin di sini. Gue mau ngomong berdua doang sama elo." Riani melirik Aya dengan sinis.
"Enggak ada berdua-berdua. Kalo mau ngomong sama Arland di sini aja. Ngapain sih, pake berdua doang?" Aya tampak kesal.
"Gue enggak ada urusan sama elo, ya. Mending diem, jangan ikut campur," kata Riani sambil memandang Aya kesal. Begitupun Aya yang sangat tidak suka dengan kehadiran Riani.
"Biar saya ngomong sama Riani dulu. Kamu bisa ke kantin sendiri, kan?" ucap Arland pada Aya. Cara bicaranya halus mengingat kondisi mental gadis itu yang baru-baru benar pulih.
"Tapi jangan lama-lama. Kalo elo udah selesai, langsung nyusul gue di kantin." Aya mewanti-wanti. Dan hal itu membuat kening Riani berkerut tanda bingung dengan sikap kedua orang ini. Entah kenapa perasannya jadi memburuk.
Arland mengangguk. Lantas pergilah Aya menuju kantin. Meninggalkan Riani hanya berdua dengan cowok itu.
"Apa yang mau elo omongin?" Arland memulai obrolan. Dia tampak datar dan sedikit ... Malas.
"Elo udah ke makam Naya?" tanya Riani langsung pada intinya.
"Udah."
"Kapan?"
"Kemarin," jawab Arland terlalu singkat.
"Berarti elo beneran lupa sama hari kepergian Naya?"
Cowok itu tidak menjawab, diam seribu bahasa. Riani memicingkan mata menatap Arland. Dia benar-benar tidak mengerti kenapa Arland bisa melupakan hari yang sangat penting itu.
"Elo udah beneran berubah, Land," kata Riani terdengar sarkas.
"Berubah gimana?"
"Elo udah enggak peduli sama Naya. Dan itu semua karena cewek yang tadinya elo anggap sebagai peganggu?"
"Ri, sebenernya mau elo apa? Bukannya elo sendiri yang minta gue buat move on? Tapi kenapa sekarang elo malah mempermasalahin kedekatan gue sama Cahaya? Dan gue enggak peduli lagi sama Naya? Itu enggak mungkin, Ri." Arland mulai tersulut emosi.
"Gue emang minta elo move on. Tapi bukan berarti elo lupa hari penting kayak kemarin. Terus kenapa harus cewek itu? Elo sendiri yang bilang kalau gara-gara dia, elo hampir nyakitin Naya." Riani juga tidak ingin kalah.
Arland menghela napas kasar. "Udahlah, Ri. Elo enggak usah terlalu ikut campur lagi urusan gue. Meskipun elo sahabatnya Naya, elo juga punya kapasitas terbatas. Elo enggak berhak ngatur gue buat deket sama siapa aja."
Jelas sekali kalau napas Riani terlihat memburu. Dia sama sekali tidak terima dengan ucapan Arland, tetapi pada dasarnya dia sadar kalau apa yang dikatakan cowok itu adalah benar adanya.
"Udah kan, ngomongnya?"
Riani hanya diam.
"Gue pergi dulu," pamit Arland melangkah pergi meninggalkan Riani. Baru sekitar tiga langkah, dia berhenti karena Riani membuka suaranya lagi.
"Apa elo udah enggak sayang sama Naya?"
Cowok itu berbalik. Memandang Riani dengan skeptis. "Apapun perasaan gue, elo enggak perlu tau. Dan elo enggak punya hak sama sekali untuk itu." Arland kembali melanjutkan langkahnya yang tertunda. Benar-benar mengabaikan Riani yang matanya sudah memerah dan berair.
_____