Dunia yang Terlupakan

Emma Arsyah
Chapter #4

Secercah harapan

Di atas ketinggian, terdapat sebuah cafe dengan nuansa klasik dan vintage. Meja-meja bersusun rapih dilengkapi hiasan lilin mungil di atasnya, berikut alas batu-batu kerikil kecil. Beratapkan kanvas oranye, sebuah ornamen matahari bersiap pamit sesaat lagi diterkam kumpulan awan besar nan lebar. Rupanya matahari akan beristirahat. Semilir angin sepoi-sepoi menerjang siapapun yang dilaluinya secara lembut, begitu pula rambut pria yang duduk di tepi sana yang sedang hanyut menikmati kilauan kota dari satu titik. Udara segar yang dihirup laki-laki berkemeja biru dongker bak memberi semangat optimis.  

Di tempat inilah Azzam akan bertemu sosok yang akan menjadi pendamping hidupnya. Kiranya seperti itu harapan Azzam. Tempat ini akan mendukung harapannya. Sesekali ia menatap jam tangannya, menunggu kehadiran wanita tersebut sambil menyeruput minuman dingin di dekatnya. 

Tak lama, seseorang menoel pundak belakang Azzam. Azzam menengok, lalu menegakkan badan seluruhnya, bersalaman dengan temannya seorang pria.

"Udah lama ya?" tanya Dion.

"Nggak kok," jawab Azzam, matanya menyapu setiap sudut di sekelilingnya mencari seseorang yang dimaksud Dion.

Perlahan muncul seorang wanita dari belakang tubuh Dion.

"Lho?!" kata Azzam dan Ratih serempak saling menunjuk, terkejut orang yang mau dicomblangin Dion adalah rekan bisnis mereka tempo lalu.

Oh tidak, bagaimana mungkin klien yang Azzam kecewakan tempo lalu itu adalah sosok yang Dion mau comblangin. Siapa lagi kalo bukan wanita yang sedang tersentak kaget memasang mata malas bukan main.

"So, kalian udah pada saling kenal?" tanya Dion mengangkat sebelah alisnya. "Baguslah," menjawab pertanyaannya sendiri, senang.

Bukannya menjawab, Ratih malah beranjak pergi begitu. Dion bingung dong, ada apa di antara mereka. 

Dion berjalan cepat mengejar saudarinya. "Ratih, Ratih, stop jangan pergi dulu!" Memegang lengan wanita itu erat seraya menghentikan langkahnya.

"Lo, apaan sih?" Ratih menepis tangan Dion secara kasar. "Nemuin Gue sama orang yang SONGONG KAYA DIA." Wajah Ratih bergerak menengok Azzam sekelebat beserta wajah masam. "Laki-laki di tempat lain juga banyak kali! Gue ogah ah!" Ucap Ratih serius meyakinkan.

"Sabar dulu." Kedua telapak tangan Dion terbuka selaras di depan dada. "Katanya mau enteng jodoh, coba yuk, atur nafasnya tih!" pinta Dion seraya memeragakan. "Cowok lain emang banyak. Tapi cowok yang baik dan family man itu jarang ada. Nah, Azzam ini termasuk yang family man banget. Ibunya aja dia ratuin. Apalagi kamu!"

"Bullshit..." ucap Ratih enggan karena terlanjur kadung kecewa dengan perbuatan Azzam kala itu.

"Lho, gatau aja pas dia meeting online ma Gue. Dia main left gitu aja, tanpa pamit."

"Ratih, masa gitu doang ngambek." Dion berusaha meredakan amarahRatih  

"Biar Gapapa!" tutur Azzam lembut, seraya menghentikan Dion untuk tidak menghentikan omelan Saudarinya.

Ratih mengangkat sebelah alis matanya. 

"Gitu doang? itu artinya kan dia ga ngehargain gue sebagai rekan bisnisnya. Padahal dia yang ngajuin proposal kerja sama. Hal-hal gini itu masuk ranah etika tahu yang bisa nentuin orang baik atau nggak! Kaya gini lho mau jodohin ke gue. Capek deh"

Sedangkan, Azam hanya pasrah memasang telinganya baik-baik, menelan omelan panjang kali lebar wanita di dekatnya tersebut. Mencoba berusaha memahami wanita tersebut. Betul sih, Azam merasa baik-baik aja. Tapi Dion yang merasa nggak enak, nih. 

"Pasti nih dia bakal berkelit bikin alesan segala macemnya bawa-bawa urusan pribadi. Ga profesional!" tambah Ratih seraya menyedekapkan tangan di dada.

Azzam menarik nafas panjang.

"Well, gue akuin gue salah. Gue gakkan berkelit kelakuan gue waktu main left meeting online tanpa pamit itu akhlakless banget. Gue minta maaf."

"See," tutur Ratih ke Dion agar tidak menahannya, Ratih pun segera pergi meninggalkan Azzam. 

Azzam merutuki kebodohannya yang lupa memberi kabar pada Ratih. Seharusnya, ia bisa mengakhiri pertemuan itu dengan baik, setidaknya memberi alasan apapun yang logis, tak lama setelah meeting tersebut berakhir. Ia juga tak mungkin menyalahkan Bu Tari, karena ketidaktahuannya. Azzam sudah dewasa, seharusnya itu juga tercermin dalam sikapnya. Benar apa yang dikatakan Ratih.

🍃🍃🍃

Azzam menelan salivanya berat. Meskipun hatinya patah, hidup harus terus berjalan. Azzam tetap bekerja seperti biasa. Kali ini ia mendapat pesanan baju sablon cukup banyak untuk dikirim ke luar kota. Setidaknya itu dapat menjadi hiburan baginya saat ini. Ia optimis bisnisnya bisa sukses, walau di e-commerce masih saja sepi. Ia pun mengambil beberapa stok baju di konveksinya dan memindahkannya ke dalam mobil.

"Kok ga diangkat sih?" keluh Bu Tari kecewa yang sedang menelepon tidak dijawab, menyayangkan hal itu, sambil mengernyitkan kedua alisnya dengan mata agak menyipit. 

Wanita itu belum mau menyerah, tetap berusaha lagi dan lagi untuk tersambung dengan jagoannya.

Drrttt... Drrttt...

Handphone Azzam bergetar, indikasi ada telepon masuk. Kondisi yang kurang mendukung membuat Azzam enggan bergelut dengan handphone pada awalnya. Namun, karena handphonenya sudah meraung untuk yang kedua kali. Tanpa berpikir lama, pria yang sedang berjalan seraya repot membawa tumpukan baju sablon detik itu juga berhenti melangkahkan kakinya sejenak, menunda seluruh barang bawaannya di lantai. Khawatir ada sesuatu hal mendesak yang penting dibicarakan. Ia merogoh kantung celananya, mengeluarkan barang pipih tersebut yang diangkat sejajar dengan wajahnya yang rupawan.

"Azzam..." ibu melambaikan tangannya saat video call. "Jagoan ibu, kok lama banget sih angkatnya." Memukul pahanya sendiri. "Bikin overthinking aja, ibu kira kamu kenapa-kenapa lho."

"Nggak bu, Azzam baik-baik aja. Maaf ya bikin ibu khawatir, Azzam tadi lagi repot mindah-mindahin barang ke mobil buat dikirim besok. Ya, Bu, gimana? Ada apa?

"Ini lho, tebak ibu di mana?" tanya Ibu dalam video call sambil memperlihatkan keadaan di sekitarnya.

Pikiran Azzam berkelana, mencocokan pemandangan tersebut dengan tempat-tempat yang pernah ia kunjungi. Nihil, tidak ada sekeping potongan ingatan pun tentang tempat tersebut, baginya tidak familiar. Ini baru pertama kali ia melihat tempat tersebut. Azzam kewalahan.

"Di mana ya?" Azzam mengernyitkan dahi. "Azzam ga tau Bu. Memang kenapa?"

Namun, rupanya Bu Tari tidak ingin Azzam menyerah begitu saja. Kondisi mereka percis seperti kedua pemain dalam kompetisi eat bulaga, yang mana salah satu pemainnya memberikan ciri-ciri sedetail mungkin dari hal yang perlu ditebak partnernya. Sasha saat ini tentu saja menjadi penonton keseruan Ibu dan Kak Azzam.

"Masa ga tau?" geram ibu. "Taman Korea yang viral itu lho. Lagi sama adikmu, main." menyorot Sasha dengan kamera handphone.

Sasha tersenyum tipis, tidak usah diceritakan pun. Raut wajah Sasha menceritakan hal yang sebaliknya. Senyum terpaksa pada wajah datar. 

"Kamu pulang jam berapa? 

"Belum tau Bu. Soalnya Azzam mau anter barang dulu."

"Mau ibu bawain makanan nggak? Di sini banyak jajanan tau."

"Nggak deh bu, makasih."

"Bener ga mau nitip apapun?"

"Nitip jodoh bisa ga bu?" 

"..."

"Halo ibu?"

"Apa? Kok suara kamu putus-putus ya." Ibu pura-pura tidak mendengar

"Ga jadi deh Bu. Nanti Azzam cari sendiri aja. Assalamualaikum."

"Wa'alaikumussalam," ucap ibu mengakhiri panggilan.

Dari dalam lubuk hatinya, Tari merasa sedih karena putranya sudah ada rencana untuk mencari jodoh. Ia teringat obrolan teman-temannya kemarin soal Bu Rubi. Seorang anak bisa jadi jauh ketika menikah. Dan Tari tidak mau hal itu terjadi. Tari tidak mau kesepian. Apalagi, Tari sudah membesarkan anak-anaknya dengan susah payah seorang diri selepas kepergian suaminya.

Lihat selengkapnya