Dunia yang Terlupakan

Emma Arsyah
Chapter #4

Redup

Sebuah persegi panjang tipis terbelah dua, membentuk sebuah huruf L, menampung sebuah mimpi dalam sebuah layar yang berisikan file data diri seorang wanita bernama 'Sasha Ghania Andini' yang kini sedang terurai rambutnya dengan bando tipis di kepalanya membelakangi tembok. Wajahnya tentu saja menghadap layar. Jari-jarinya yang lentik sibuk menekan beberapa tombol alphabet. Suara ketikan keyboard mengalun bagai melodi semangat yang berkobar pada wanita tersebut.

Cahaya rembulan masuk melalui celah-celah gorden kamar yang terbuka sebagian, bintang-bintang yang berhamburan di langit menjadi teman Sasha di penghunjung malam. Di tengah pekatnya malam yang gelap gulita, bintang saja dapat bersinar. Sama halnya cita-cita Sasha yang mungkin tersingkap berkilau suatu saat tepat ketika panorama kentara meski latarnya abu-abu.

Torehan tinta membekas pada lembar demi lembar saksi bisu perjuangan Sasha dari Sekolah Kehidupan. Semoga saksi bisu tersebut berkenan menjembatani impian dan realita kehidupan Sasha. Bersudi menjadi iklan yang meyakinkan pembaca.

Sasha sangat tenggelam dalam cita-citanya. Apalagi, itu bisa membuka pintu kepada gerbang dunia di luar kotak ruangan bernuansa abu-abu ini. Tempat ia biasa bersemedi, maksudnya,

membelanjakan waktu hingga tak menyadari beragam hal yang terjadi termasuk kehadiran seorang pria tinggi, berpiyama, dengan kacamata hitam di belakangnya sekarang.

"Cie..., yang lagi sibuk."

Sasha terkesiap menoleh ke belakang. "Eh, kakak?". Tak menyadari sejak kapan Kak Azzam mengamatinya. "Udah baikan?" tanya Sasha peduli.

"Udah dong, kan kakak jagoan." Azzam mengepalkan tangan memukul dadanya sendiri, meyakinkan wanita yang sibuk dengan lembaran kertas dan torehan tinta tersebut.

"Kakak siapa dulu?"

"Sasha!"

Mereka tersungging bersama. Tak bisa dielak, Azzam memang jagoan di keluarga ini terutama sepeninggal Budi, Ayah mereka. Azzam menjelma laksana prajurit dengan perisai pelindung yang siaga terhadap tembakan anak panah yang dapat menyakiti mereka.

"Bener baikan?"

"Ya. Cuman ini..." Memegang area jantungnya.

"Sakit hati?"

Azzam mengangguk sesaat, "Apalagi ditambah, kamu ga support kakak sama sekali tadi, ngasih semangat gitu."

"Yah maaf kak, gimana mau nyemangatin kakak, aku aja lagi habis energi."

"Iya gapapa kakakmu ini selalu pengertian kok. Ini kapan adeknya yang ngertiin."

"Maksudnya?"

"Bantu lobi ibu dong, supaya beliau ngerestuin kakak sama Ratih. Kan kamu deket sama ibu."

Deket? decak Sasha dalam hati, membuang kasar nafasnya. Baginya statement itu bagai lelucon.

Pernyataan itu tak sepenuhnya keliru, Sasha memang dekat dengannya, sekadar fisik, bukan hati. Sasha tak cukup berkeyakinan perempuan paruh baya tersebut bersedia mendengarkannya. Jika Kak Azzam meminta untuk membujuknya. Karena, Sasha pun merasa jauh dengan perempuan tersebut. Tidak seperti teman-temannya.

"Ratih siapa kak?"

"Calon kakak ipar Sasha. Nanti kakak kenalin deh. Pasti beliau bisa jadi temen baik kamu."

"Ya, kalo aku bisa ya kak." Sasha tak yakin.

Azzam begitu antusias dan gembira. "Yee, makasih adikku cintaku" mencubit pipi adiknya yang chubby.

"Aw..." menjerit sakit pipinya memerah.

"Maaf."

"Btw, ini kamu ngeprint CV, mau ngelamar kerja kemana?"

"Kemana-mana hatiku senang."

Azzam membulatkan mata sempurna, greget tak menampik jawaban.

"Ke Marketing Agency N, tempat salah satu alumni kerja, kemarin ngabarin lagi ada loker katanya."

"Jadi?"

"Video Editor."

"Oke, goodluck ya." mengacak rambut adiknya. "Jangan tidur malem-malem nanti pusing kepalanya!" saran Azzam seraya berjalan menutup pintu, pergi yang dibalas anggukan Sasha.

Tangan kanan Sasha memberi hormat. "Siap kak." Lanjut, menata berkas-berkasnya di atas meja. Mematikan daya laptop serta printer secara berurutan. Dan menutup harinya dengan tertidur.

****

Pria berkemeja biru kotak-kotak memasang kancing di lengan bajunya. Ia pun memperhatikan penampilannya di cermin, menyisir rambutnya hingga klimis. Lain halnya, dengan Sasha yang sedang memakaikan sepatu di kakinya yang sudah berkaus kaki dengan tas hitam menempel di pundaknya.

"Kak mau ke Konveksi, bukan?"

"Iya kaya biasa."

"Boleh tolong anterin Sasha dulu, nggak?" dengan wajah merajuk.

"Boleh dong."

"Kemana Zam?" Ibu mengernyitkan dahi, tidak tahu menahu Sasha akan pergi serta konteks yang mereka sedang bicarakan.

"Ngelamar kerja katanya."

"Loh..., nggak akan kuliah?" Keheranan.

"Nggak lah Bu, mau cari pengalaman kerja dulu."

"Ngelamar kerja di mana?"

"Di Marketing Agency N"

"Tempat kecil deket klinik itu?" Makin heran.

"Ya."

"Yang bener aja dong, Sha! Masa kamu mau kerja di tempat begitu. Anak-anak temennya ibu pekerjaannya pada mentereng tau. Mau disimpen di mana muka ibu?"

Lihat selengkapnya