Azzam menyilangkan kedua pergelangan kakinya yang bersepatu, menyerongkan tubuhnya, bersender pada jok motor, menatap sebuah pohon rindang dan beberapa daun kering kuning dan rapuh yang telah terjatuh dari pohonnya. Merogoh benda berbentuk balok kecil berwarna merah, diputarnya roda pada korek api gas, hingga keluar api, lalu memantiknya pada ujung batang rokok yang berada tepat di mulutnya. Seraya menghisapnya, ia tenggelam dalam lamunan, yang umumnya hanya dimengerti oleh setiap pria. Begitu banyak hal yang lalu lalang dalam pikirannya baik karir, keluarga, maupun perkara cinta.
Bahkan wangi parfum khas yang terbawa angin pada indra penciuman Azzam seperti membentuk koneksi antar neuron di otaknya, memicu aliran listrik, memberikan angan bahwa wanita yang ia dambakan ada di sekitarnya. Untuk apa wanita tersebut ada di sini? Bukankah, yang memiliki parfum tersebut banyak? Azzam menertawakan dirinya sendiri. Apakah ia mulai gila?
Kluk...
Seorang wanita berheels coklat hampir terjatuh saat menuruni anak-anak tangga. Ia mengalami hal yang sama dengan seorang pria berjaket hitam dihadapannya. Beruntung sekali terdapat pegangan di sampingnya, sehingga ia dapat berdiri tegap kembali.
Lirikan Azzam seketika menyambar sumber suara tersebut. "Ratih?" Sorot mata Azzam berbinar. Satu jari Azzam menunjuk pintu luar yang mereka singgahi, "Lho ngapain di sini?" tanya Azzam.
Mungkin ini yang dinamakan pucuk dicinta wulan pun tiba juga Rongkong menghadap mudik.
"Zam...?" Pandangan Ratih hanyut terhadap Azzam, ia merasa mimpi, betapa beruntungnya itu asli.
Dalam hati kecil Ratih, ia tak bisa bohong bahwa dirinya sangat senang. Namun, kejadian kemarin seperti menampar Ratih, buat Ratih ragu menghampiri Azzam. Ia mematung di tempat sambil memintal pakaiannya sendiri. Sesekali menengok ke bawah.
Alhasil, Azzam yang memberanikan diri menghampiri wanita berkuncir satu dengan cardigan cream dan celana jeans tersebut.
"Euh, a-anu, ada urusan dikit." Tak ingin terbuka menceritakan. "Lho sendiri?" tanyanya sembari ingin mengalihkan topik.
"Lagi nungguin adek interview."
Sasha tercengang, tak percaya. Bisa-bisanya seseorang yang menginjak usia dewasa, masih diperlakukan demikian.
"Berlebihan ya?" Azzam sadar.
"Sedikit..." Ratih memposisikan jari jemarinya bagai mencubit garam.
Mereka terkekeh sesaat bersama. "Beruntung ya jadi Adek lho, punya kakak perhatian banget."
Azzam menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Tingkahnya tersebut mengingatkan Ratih pada alergi Azzam.
"Lho udah baikan?" tanya Ratih yang melihat Azzam tampak segar bugar.
"Alhamdulillah." Azzam bersyukur.
"Waktu itu, sorry ya!" membahas soal ucapan Ibu tempo lalu.
"Gapapa, aku ngerti setiap ibu pasti pingin yang terbaik buat anaknya," tukas Ratih dengan kepedihan yang mendalam. "Selamat ya!" Ingin menyalami Azzam. Mendapati Rokok menempel di sela jarinya.
"Buat?" Azzam tak mengerti.
"Hubungan lho sama Bu Mega."
Bukan Bu Mega yang Azzam inginkan. "Nggak, gue maunya sama lho."
"Nggak mungkin, Zam. Nyokap lho kagak ngerestuin hubungan kita."
"Mungkin aja, kita usaha bareng-bareng yah!" ucap Azzam memegang lengan Ratih.
Mengapa Azam tetap bersikeras, tak mengerti. "Tetep aja nggak mungkin." Tegas Ratih.
"Kenapa?"
"Lho perokok, sedangkan gue pengidap asma."
Azzam terdiam membeku, agak lemas. Bagaimana tidak, ia berada di persimpangan kedua hal yang ia suka. Azzam butuh waktu untuk mencerna ini semua. Haruskah ia memilih egonya atau cintanya?
"Diem kan lho, maaf." Melepas lengan Azzam.
Saat itu otak Azzam seperti konslet, ia merespon cukup lama kepergian Ratih.
"Ratih...!" Menyadari Ratih sudah tidak ada di hadapannya, berupaya mengejarnya.
"Kak...!" Sahut Sasha.