Dunia yang Terlupakan

Emma Arsyah
Chapter #6

Realitas

"Iya dek!" ujar seseorang yang menghampiri Sasha usai tergopoh-gopoh berlari dari seberang Rumah, mengira Sasha melambaikan tangan untuk memanggilnya.

Padahal kan Sasha habis ngedadahin kakaknya. Secara spontan dahi Sasha berkerut dong, kedua alisnya hampir tertaut, ia bergeming.

"Ini," memberikan Sasha selembar brosur dari ratusan brosur yang dibawanya. "Ada gerai Ice Cream Lolo baru dekat sini, rasanya dijamin enak, lagi promo beli dua gratis satu."

Itu tepat sejumlah anggota keluarga di Rumah, termasuk dirinya. Sasha menelan salivanya, memperhatikan beragam varian Ice Cream pada brosur yang ada di tangannya, tampak begitu menggiurkan. "Sampai kapan promonya?"

"Seminggu ini."

Sasha memiringkan tubuh, kepalanya bergerak berlawanan arah jarum jam, mencari gerai Ice Cream yang tak jauh dari kediamannya. Akhirnya, ketemu. "Oke."

Fix, Sasha harus ke sana setelah paket pesanan Ibu ia terima. Sasha menggosok kedua tangannya, lalu menempelkannya pada kedua pipi, isyarat tak sabar menyantap ice cream lumer tersebut.

🍃🍃🍃

Dalam keheningan malam bersama temaram lampu yang berpendar, Sasha menyusun bantal bertumpuk lalu menjatuhkan punggungnya ke sekumpulan busa empuk, membiarkan tubuhnya rileks dengan posisi duduk menyender seraya sibuk melahap setiap barisan demi barisan pada buku yang dipegangnya.

Betapa mengasyikkannya kisah-kisah pada buku antologi tersebut. Pantas saja orang-orang senang dengan karya fiksi, terlebih setelah menemui satu kisah yang relate dengan kehidupan mereka. Begitu hebatnya setiap peran utama menaklukan tantangan di hadapannya.

Sasha lega telah membaca karya tersebut. Ia merasa letih, bukunya tergeletak di samping kepalanya. Sasha mulai mengantuk dan tertidur. Hanya beberapa menit lagi ia akan masuk ke dalam mode terlelap.

Ting... Ting...

Handphone Sasha berbunyi.

"Ya...?" seraya menjawab dengan suara berat, mengantuk.

"Sebelumnya, maaf ya mengganggu malam hari."

Sasha membelalakkan mata sempurna, karakter suara yang familiar di telinganya, "Nggak kok kak, hehe."

"To the point aja ya. Kakak udah lihat CV dan Portofolio kamu. Kakak tertarik."

Sasha segera berubah posisi dari rebahan menjadi duduk dengan tegak.

Sasha sangat bersyukur, "Alhamdulillah...."

"Saya mau ketemuan sama kamu ya, besok! Bisa?"

"Bisa kak."

Telepon tersebut berakhir. Sasha loncat-loncat kegirangan, yang mana mengganggu ketenangan nyonya rumah. Bu Tari membuka pintu kamar Sasha, penasaran. Sasha berlari memeluk erat Bu Tari hingga membuatnya jengah.

Jujur saja, Sasha ingin menceritakan semuanya, berbagi kebahagiaan pada ibunya. Namun apa yang terjadi tadi pagi membuat Sasha mengurungkan niatnya, ia khawatir dengan respon ibu yang mungkin akan bereaksi serupa. Oleh karena itu, Sasha mencari alasan lain bahwa ia senang karena ada gerai ice cream baru di dekat rumahnya. Ia menunjukkan brosur yang ia dapat. Dan gatal ingin mengunjungi tempat tersebut segera.

Sayangnya, meski lokasinya dekat, tetap saja Ibu tak mengizinkan ia pergi ke sana sendirian. Apalagi harus menyebrangi jalan raya. Bahkan Ibu menjegal pintu rumah. Sasha mesti ditemani, toh Ibu juga mau ikut. Padahal Sasha sudah berusia 18 tahun. Rasanya aneh diperlakukan seperti ini. Bukankah ini berlebihan? Namun, lantaran suasana hati Sasha cerah saat ini, ia tak punya energi untuk kesal, ikuti saja arus airnya. Sasha manut. Meskipun, lagi-lagi ia perlu memasang telinganya kembali tanpa perlu terlibat dalam percakapan.

🍃🍃🍃

Azzam memarkirkan kendaraan ninja beroda dua di depan sebuah toko retail pakaian, melepas helm yang melekat padanya, juga pada kepala adiknya. Sasha mengecup punggung tangan Kak Azzam seraya pamit. Namun, Kak Azzam berkeinginan mengantarnya hingga lobby. Agar memastikan adiknya baik-baik saja. Sorot matanya menyapu seluruh sudut ruangan. Azzam yakin Sasha akan aman mengingat banyak pegawai di sini. Ia mengusap pundak adiknya seraya memintanya agar tetap mawas diri. Kemudian, Azzam memutar langkahnya untuk ke luar.

"Azzam?" Menyaksikan pria berbadan jangkung besar itu ada di tokonya.

"Ratih." Inilah yang sedari tadi Azzam cari.

"Sasha?" Ratih menunjuk Sasha seraya bertanya hubungan di antara mereka berdua.

"Adik gue," terang Azzam.

"Kak Ratih dan Kak Azzam udah saling kenal?" Sasha menutup mulutnya. "Kak Ratih yang bakal jadi calon kakak ipar Sasha ya."

Ratih menatap Azzam nanar yang diselingi kedipan beberapa kali tak percaya.

Azzam menyenggol halus kaki Sasha berharap adiknya tidak melanjutkan perkataannya. Faktanya, hubungan Azzam dan Ratih belum ada kepastian disertai backstreet.

Sasha hanya berdesis kecil tak mengerti. "Sasha setuju banget, udah baik, cantik pula."

Azzam mengusap wajahnya, malu. Adik durhaka kenapa ia tak mengerti bahasa kalbu kakaknya, memang tampaknya Sasha perlu di-briefing terlebih dahulu sejak awal. Bagaimanapun, Azzam tetap salah karena berharap lebih.

Suasana menjadi canggung.

Ratih menggigit bibir bawahnya, terkekeh geli, mengelus pundak Sasha. "Sasha ayo ikut ke ruangan kakak. Ke sini mau bahas pekerjaan kan?"

"Iya."

Ratih hanya menundukkan kepalanya secepat kilat seraya mengucapkan selamat tinggal pada Azzam. Sasha membututi Ratih ke Ruangannya.

Lihat selengkapnya