"Maaf sebelumnya, Bu. Tapi sepertinya anak ibu sudah tidak ada harapan. Mohon ikhlas jika yang terjadi adalah yang terburuk," kata dokter yang menangani anakku beberapa hari terakhir.
Aku menyeka air mata yang mulai turun. Aku yakin, tak ada dokter yang suka mengatakan hal demikian pada keluarga pasien. Dimana seharusnya harapan pasien ditumpukan kepadanya. Bukannya tidak mau memperjuangkan, tapi aku tahu mereka sudah terbiasa berada di situasi seperti yang aku alami saat ini. Lantas siapa yang lebih aku percaya? Dokter yang sudah berkompeten di bidangnya atau takdir yang ada dalam kendali Sang Maha Kuasa.
Mataku menatap nanar layar mesin EKG yang menunjukkan garis naik turun. Entah sudah belasan atau puluhan doa yang aku langitkan, semoga garis itu tidak berubah lurus. Semoga tubuh kecilnya masih kuat bertahan melawan penyakit demam berdarah yang mengganas di tubuhnya.
"Yang kuat ya. Yang tabah," satu per satu sanak keluarga datang dan pulang. Memberikan aku suntikan semangat di tengah keputusasaan yang menyiksa.
Aku hanya menganggukkan kepala dan bicara seperlunya. Beberapa orang yang melihat keadaanku menyimpulkan bahwa aku sudah seperti orang linglung. Bahkan beberapa support yang mereka berikan tidak cukup membantu.
"Pastikan keadaan istrimu baik-baik saja. Jangan sampai dia telat makan! Kalian harus tetap fit disaat seperti ini. Kekuatan anakmu ada pada kalian juga," pesan ayah mertuaku sebelum pamit pulang karena ada urusan di rumah yang perlu diselesaikan.
Satria mengangguk lalu dia bergegas membeli makan di depan rumah sakit. Tak lama dia kembali sambil membawa dua nasi bungkus. Diulurkannya satu untukku.
Kami harus berhemat. Mengingat biaya perawatan untuk putriku terbilang mahal. Kami tidak mempunyai asuransi yang bisa meng-cover semuanya. Terpaksa kami harus memakai dana pribadi.
"Makan dulu! Biar perutmu terisi," aku mengambil bungkusan itu kemudian membukanya. Ini sudah menjelang waktu dhuhur. Tapi perutku belum kemasukan makanan apapun. Jangankan terpikir untuk makan, tiap detik yang berjalan aku hanya menunggu putriku membuka mata.
Karena terus dipaksa, aku pun pelan-pelan memakannya. Namun aneh. Nasi yang lumayan lembek itu terasa sulit untuk aku telan. Bagaimana aku bisa makan dengan nikmat, sedangkan putriku dalam keadaan berjuang antara hidup dan mati.
"Kok cuma dimakan sedikit? Dihabisin dong. Mau aku suapin?" tawar Satria mencoba mencairkan keadaan yang tegang. Aku yakin dia sedang berpura-pura terlihat kuat. Padahal hatinya sama-sama hancur sepertiku. Namun layaknya kepala rumah tangga, dia harus bisa menjadi penguat untuk anak dan istrinya.
"Aku sholat dhuhur dulu ya di mushola rumah sakit," pamitnya lalu beranjak bangun dari tikar tempat kita duduk setelah melihat anggukanku.