Ingin aku sampaikan beribu terima kasih padanya. Demi menyelamatkan anakku, dia rela terkena marah atasannya.
Perawat itu menyusul kami saat kami sudah tiba di depan mobil ambulance. Alesha segera di masukkan ke dalamnya. Sebelum pergi, aku menyampaikan terima kasih kepadanya.
"Terima kasih atas bantuannya ya, Mas. Maaf karena kami, Mas, jadi dimarahi sama atasan," ucapku sambil menahan rasa haru. Entah bagaimana nasib anakku jika dia tidak memberi saran itu.
"Tidak apa-apa, Bu. Sudah jadi tugas saya. Soalnya saya juga punya anak seumuran adek Alesha. Persis, Buk. Cewek juga. Rasanya setiap melihat Alesha, saya selalu teringat dengan anak saya."
"Lagipula di rumah sakit ini ruang ICU-nya cuma satu. Baik pasien dewasa maupun anak-anak dijadikan satu. Jadi penanganan untuk Alesha kurang optimal," terangnya lagi.
Aku mulai bisa bernafas lega. Segala kusut di kepala mulai terurai. Semoga di rumah sakit kedua, Alesha bisa ditangani dengan tepat dan cepat.
Nasib baik berpihak pada kami. Karena rumah sakit rujukan yang kami tuju ada di dekat sini. Jadi tidak perlu memakan waktu banyak untuk sampai kesana. Alesha dirujuk ke RSUD setempat.
Sirine ambulance melolong membelah jalan kota. Aku duduk di dalam mobil ambulance menemani Alesha sedangkan Satria mengikuti dari belakang memakai motornya.
Ambulance mulai masuk ke area RSUD. Perawat dengan sigap menunggu di depan pintu masuk rumah sakit. Begitu sampai, bed Alesha langsung didorong ke ruang NICU (Ruang ICU khusus anak). Satu ruangan berisi 6 bed. Hanya satu orang yang diperbolehkan masuk untuk menemani pasien. Disini kita mulai bergantian jaga.
Alesha mulai ditempeli berbagai alat medis yang lebih banyak daripada waktu dia di rumah sakit pertama. Selain dipasang selang oksigen dan infus, ada beberapa alat yang ditempel di dada juga pada jempol kaki untuk membantu mengetahui kondisi jantungnya.
Kupikir setelah dirujuknya Alesha ke RSUD, aku bisa merasakan angin segar. Ternyata semua perkiraanku meleset. Alesha beberapa kali drop karena diarenya semakin parah.
Alesha diambil sample darah dan fesesnya untuk di tes lab. Dari hasil cek feses ternyata Alesha mengalami infeksi di pencernaannya. Satu lagi yang membuat kakiku lemas, trombosit Alesha makin turun di angka 3000.
Diare yang semakin parah itu menimbulkan luka lecet di bagian pantat. Sampai-sampai walaupun dia dalam keadaan tidak sadar, setiap dia BAB tubuhnya berjingkat. Mungkin terasa perih akibat terkena feses.
Tak sampai hati rasanya melihat kondisi buah hatiku. Aku memutuskan untuk kembali menghubungi temanku yang kemarin. Aku jelaskan semua keadaan Alesha dari hasil pemeriksaan terbaru.
"Andai trombositnya masih di atas sepuluh ribu, saya jemput buat saya tangani disini. Tapi mengingat trombosit yang makin turun di angka segitu dan komplikasi infeksi lainnya, saya tidak berani ambil resiko. Saya cuma bisa bilang sabar dan.....," ada jeda yang menggantung. Dan rasanya aku tahu lanjutan kalimat itu.
"Ikhlaskan," lanjutnya dengan nada bicara orang menyerah. Terasa berat diucapkan namun dia pastinya tahu kemungkinan apa yang bisa terjadi.
Rasanya tenagaku seperti disedot habis oleh kekalutan. Aku menangis sejadi-jadinya. Meski sudah dua dokter yang mengatakan aku harus mencoba ikhlas, nyatanya tak semudah itu. Ibu mana yang rela ditinggal anaknya lebih dulu. Setiap orang tua pastinya ingin melihat dan mendampingi anaknya tumbuh besar. Namun keadaan seolah terus memupus harapanku.
Saking kacaunya, aku tidak berani masuk ke ruang NICU untuk mendampingi putriku. Aku meminta suamiku untuk ke dalam, sedangkan aku memilih pergi ke mushola rumah sakit lalu kutumpahkan tangisku disana.
Mushola rumah sakit bagiku adalah tempat dimana doa-doa paling tulus dipanjatkan. Mereka yang sedang berada di pinggir jurang perpisahan. Dimana setiap yang jatuh tak kan pernah bisa kembali. Namun sebanyak apapun doa dipanjatkan, Tuhan-lah satu-satunya penentu. Dimana takdir yang dia tulis akan berjalan sebagaimana mestinya.
Setelah puas meluapkan segala pelik di atas sajadah, aku kembali menuju ruang NICU. Dan betapa kagetnya aku melihat Alesha tidak ada di atas bed-nya. Panik, aku merogoh ponsel dalam saku. Ada banyak panggilan tak terjawab dari Satria dan orang tuaku. Rupanya orang tuaku sudah sampai di rumah sakit saat aku sedang berada di mushola.