Dunk Je

Mahar
Chapter #3

Bagian 2

Angin malam semakin dingin membuat Senna kembali merapatkan mantel bulunya, sudah pukul sembilan malam. Dan, harus bergegas untuk secepatnya pulang. Senna sebenarnya sedikit melupakan janjinya untuk pulang lebih awal dari biasanya. Dia sudah berjanji pada putrinya untuk menemaninya belajar malam ini. Akan tetapi, si bos memberi beberapa tambahan pekerjaan. Esok lusa tamu akan datang dan ingin mengecek beberapa hal. Termasuk bagian pengeleloaan buah-buah segar. Padahal Senna bekerja sebagai akunting di sini. Seharusnya pekerjaan itu bukan untuknya, tak apalah demi sekantong receh dia harus bekerja lebih keras agar bisa mudik awal tahun depan.

Libur natal dan tahun baru akan menjadi hari yang paling ia tunggu. Sejak melahirkan hingga Sven berusia hampir tujuh tahun, Senna belum bisa pulang ke tanah air. Ah, Senna harus mengingat lagi betapa ayah dan ibunya sangat kecewa ketika mengetahui tentang kehamilannya. Ayolah, dia masih berusia sembilan belas tahun kala itu. Seandainya Senna tahu diri, tentu saja peristiwa itu takkan pernah terjadi.

Ah, lupakan saja, Senna berjalan cepat menuju tempat parkir. Setelah menemukan mobilnya dia segera masuk kedalam.

Melirik pergelangan tangan, Senna mendesah pelan. Sven pasti marah kepadanya karena harus terlambat pulang.

Menghidupkan mesin mobil, Senna memutar kemudi. Dia harus melewati area samping gedung agar bisa memotong waktu perjalanan. Senna menghidupkan musik dari ponselnya. Lagu klasik era '90 an mulai mengalun terdengar.

Senna melewati gerbang keamanan. 

"Baru pulang?" Tanya petugas keamanan yang cukup di kenalnya. Pria berbadan atletis dengan gigi gingsul yang terlihat sangat manis itu menyapa ramah

"Ya," jawab Senna kemudian dia melanjutkan perjalanan pulangnya.

Di satu sisi sudut gedung berlantai dua tersebut sebuah Range Rover hitam tengah mengamatinya sejak tadi. Menunggu kepulangan Senna. Tentu saja, pria yang kini menatap bagian belakang mobil Senna yang perlahan menghilang tersebut hanya tersenyum dingin.

***

"Mama pulang!" Senna meletakkan mantelnya lalu melepas sepatu dan meletakkannya pada rak di sebelah pintu.

Rumah begitu sepi, meskipun lampu-lampu ruangan masih menyala. Senna segera masuk ke dalam, mengambil air hangat yang terdapat pada termos berukuran besar di atas meja makan lalu menandaskan separuh isi dari gelasnya.

"Sven?" Senna melangkah menuju kamar, begitu pintu kamar terbuka dia tak mendapati buah hatinya di dalam sana. Ah pasti di rumah Bibi Maria. Sven pasti masih di sana.

Mengambil mantelnya kembali, Senna segera melangkah menuju pintu keluar.

Cklek!

Senna terdiam kaku. Nafasnya tercekat sementa jantungnya harus berdenyut nyeri kala menatap sosok yang kini berdiri tegak menatapnya dengan wajah santai.

"Apa kabar?" Suara bariton pria itu menyentak Senna dari keterkejutannya.

"Baik, seperti yang kau lihat." Senna seolah kehilangan kosakata. Namun, dia menekan semua ketakutan dalam dirinya.

Tidak, dia tak boleh terlalu terbawa suasana apa lagi sampai terlihat ketakutan. Senna memperhatikan dirinya sendiri saat Hanggara tidak mengalihkan perhatiannya dari bagian atas tubuh.

Berdehem pelan, Senna mengurai ketidaksopanan Hanggara. Akan tetapi pria itu justru berseringai.

"Apa yang kau lihat?" tanyanya memecah keheningan yang berlalu beberapa detik yang lalu.

Lihat selengkapnya