Pukul enam pagi, sepasang suami istri yang hendak menuju kebun, terkejut ketika mendengar suara rintihan. Meski sedikit takut, mereka mencoba mendatangi asal suara itu. Betapa terkejutnya mereka, mendapati seorang gadis terbaring tanpa sehelai benang pun di sana. Di tubuhnya terdapat banyak lebam, semut-semut merah tampak tertarik dengan beberapa luka di tubuh gadis itu.
"Astaghfirullah. Ya Allah!" teriak Neuis sambil berlari mendekati tubuh Dunya. "Telepon Fajar, Pak!" katanya pada sang suami.
Tanpa berpikir panjang, wanita itu melepaskan jaket dan kain batik yang selalu ia bawa. Dengan sangat perlahan ia membersihkan tubuh Dunya dari semut dan beberapa hewan kecil. Bahkan beberapa lintah darat tampak menempel untuk menghisap darah gadis itu.
"Ya Allah," kata Neuis sambil mencoba memberi Dunya air minum.
Sementara itu sang suami --Tarja-- berteriak memanggil orang-orang. Karena ia tahu, pada jam itu banyak kenalannya yang sedang menuju kebun. Ia sudah menghubungi putranya yang bekerja sebagai petugas keamanan jembatan, tapi pemuda itu ada di rumahnya yang berjarak tiga puluh menit dari sana. Tarja tidak bisa menunggu.
"Tolong! Tolong!" teriaknya berulang kali. Sampai kemudian Beberapa petani datang sambil berlari.
"Ada apa?" tanya Gusti, pemilik kebun cabe di perbukitan tidak jauh dari sana.
Tarja menunjuk ke arah Dunya. Semua yang datang spontan terkejut dan bersama-sama mereka mengangkat tubuh Dunya keluar dari tempat itu.
Air mata Dunya mengalir. Setelah satu malaman ia tidak menangis. Siksaan yang Dunya terima sungguh luar biasa, malangnya, ia tidak benar-benar kehilangan kesadaran.
Di tengah gelap malam. Dunya menatap bulan yang seperti sedang menemani dan menguatkannya hingga pagi hari tiba.
Hanya dalam beberapa jam, lokasi wisata itu ramai oleh orang-orang yang ingin tahu kejadian sebenarnya. Mereka berkumpul dan saling berbagi informasi, tidak peduli jika polisi dan petugas keamanan berulang kali mengusir mereka.
Di tempat kejadian, polisi menemukan banyak barang bukti. Mulai dari puntung rokok, sebuah jam tangan pria, topi, dan sebuah kondom berisi cairan pria.
Identitas Dunya juga ditemukan dengan lengkap, berbekal itu semua, polisi mendatangi rumah gadis itu untuk bertemu keluarganya. Namun, ternyata tidak ada siapa pun di sana.
"Dunya tinggal sendirian sejak neneknya meninggal. Dia cuma punya paman, satu-satunya keluarga, yang tinggal di RW sebelah." Kata Ilham --ketua RT-- menjelaskan.
Beberapa orang tentu saja penasaran. Mereka mendatangi petugas polisi itu dan mulai bertanya-tanya.
"Dia biasanya tidak keluar rumah. Kemarin sepupunya menunggu di sini sampai jam sepuluh malam, tapi Dunya tidak kunjung pulang," kata tetangga sebelah rumah Dunya memberi kesaksian.
Dengan beberapa informasi yang didapat, polisi mendatangi rumah paman Dunya untuk meminta keterangan. Betapa terkejut sang Paman mendengar penjelasan polisi.
"Kemarin kami sampai lokasi wisata sekitar pukul tiga. Tapi karena ternyata saya takut untuk menyeberangi jembatan, akhirnya saya menunggu di salah satu warung. Tapi sampai pukul lima, Dunya tetap tidak kembali. Padahal saya sudah meminta bantuan petugas keamanan, tapi mereka bilang mungkin saja Dunya sudah pulang duluan karena tidak melihat saya." Kaisa menjelaskan sambil menangis. Ia merasa bertanggung jawab atas apa yang menimpa Dunya.