Dunya mendapati dirinya berjalan di padang pasir, tanpa alas kaki. Angin kencang membuat abaya hitamnya berkibar tak karuan.
Ia tidak tahu akan berjalan ke mana. Di kepalanya tidak ada satu pun tujuan, bahkan alasan mengapa ia berada di tempat gersang yang sangat panas itu. Bahkan keringat di tubuhnya sudah mengering dan tak keluar lagi, karena ia tidak meminum setetes pun air.
Tubuh Dunya mulai lemas, ketika dari kejauhan ia melihat seseorang mendekat dengan menunggang kuda. Seorang pria yang wajahnya tidak terlihat, karena ditutup kain berwarna putih dan merah.
"Tolong ...." Dunya terjatuh ke atas pasir dan hanya bisa mengangkat satu tangan sebagai isyarat.
Tak berapa lama, dalam samar ia mendengar suara langkah itu berada di sebelahnya.
"Kamu pasti sangat terluka. Bangunlah, jangan menyerah."
***
Aqshar sedang mengaji ketika mendengar ada suara rintihan berasal dari ranjang Dunya. Dengan cepat ia menoleh dan mendapati sahabatnya itu membuka mata.
"Dunya, hey, hey, ini aku Aqshar."
"Herman, Herman ...."
"Iya, kami sudah tahu. Polisi sedang mencarinya sekarang." Aqshar meraih tangan gadis itu dan menggenggamnya erat. "Maafkan aku karena tidak berada di sana hari itu," bisik Aqshar sambil mengusap punggung tangan Dunya.
Dunya tidak menjawab. Ia hanya menatap langit-langit sambil menangis. "Di mana bulannya?" gumamnya parau.
"Hem? Apa?" Aqshar mendekatkan telinga kepada Dunya.
"Di mana bulannya?" bisik Dunya mengulangi.
"Bulan?"
"Bulan. Dia yang menemani aku malam itu."
Aqshar tidak kuasa menahan air mata, melihat betapa berat beban yang harus ditanggung oleh gadis itu.
"Dunya?" Kaisa yang baru saja tiba, langsung berlari mendekati ranjang. "Alhamdulillah kamu sudah siuman ...."
"Kamu!" teriak Dunya dengan mata melotot. "Kamu meninggalkan aku sendiri, kamu memaksaku pergi, tapi kemudian meninggalkan aku. Kamu!"
Kaisa melangkah mundur. Kemudian ia jatuh berlutut sambil menundukkan wajah. "Aku tahu ini semua adalah salahku. Tolong maafkan aku, Dunya. Aku tidak tahu." Tangis Kaisa menetes hingga membasahi lantai. "Pukul aku, teriaki aku, atau bunuh aku jika itu bisa membantumu melewati semua rasa sakit ini. Tapi aku mohon maafkan aku."
"Hey, hey, tenangkan dirimu," kata Aqshar mencoba menengahi. "Kaisa sudah menyesali semuanya, aku tahu kamu hancur, aku berjanji akan meminta polisi untuk segera menangkap bajingan itu. Aku akan mencarinya ke mana pun. Aku berjanji."
"Pergi," kata Dunya sambil memalingkan wajah.