"Aku tidak akan pergi ke mana pun," kata Dunya dingin. Ia menolak untuk pergi ke Jakarta, karena baginya hal itu tidak akan mengubah apa pun.
"Kita butuh keterangan dari ahli forensik," Shanty mencoba meyakinkan pasiennya itu.
"Dunya ...." Rita menimpali. "Tidak masalah kalau kamu menolak untuk pergi. Tapi apakah kamu setuju jika ahli forensik itu datang untuk memeriksa?" tanyanya lembut.
"Kita harus menangkap pelaku itu. Karena besar kemungkinan dia juga tersangka pada kejadian yang sama dua tahun yang lalu." Shanty menjelaskan dengan sangat hati-hati.
Mendengar itu, Dunya langsung terhenyak.
"Kalau kamu setuju untuk diperiksa, aku bisa mendatangkan ahli forensik yang sama, yang juga menangani kasus dua tahun yang lalu," kata Rita.
Dunya mengangguk pelan. Bagaimana pun, Herman harus ditangkap dan dihukum atas perbuatannya. Pria itu tidak layak hidup bebas di luar sana, setelah apa yang ia lakukan.
"A--apa ...." Dunya menelan ludah getir. Ia mengangkat wajah dan menatap Rita ragu, "Apa yang terjadi dengan gadis itu?" tanyanya parau.
Rita menghampiri Dunya dan berkata, "Jangan khawatirkan itu, fokus saja pada pemulihan dirimu ...."
"Aku ingin tahu bagaimana gadis itu melewati semuanya."
Rita menarik napas dalam. "Umurnya enam belas tahun, masih SMA. Dia ditinggalkan di pinggir jalan tanpa busana, tidak ada saksi. Dia sempat koma, dan ketika sadar dia tidak bicara satu kata pun. Tapi karena kondisinya sangat buruk, tubuhnya tidak sanggup menanggung rasa sakit, dan mentalnya tidak kuat menerima semua yang terjadi, anak itu meninggal dunia tanpa sempat bersaksi. Sampai sekarang, tidak ada satu petunjuk pun yang didapatkan polisi. Aku di sana saat anak itu menghembuskan napas terakhirnya, aku di sana menyaksikan betapa dia tersiksa dengan kondisinya. Maka dari itu, aku ingin menemukan siapa pelakunya. Dan mungkin, dengan bantuanmu kita bisa menghukum orang itu."
Dunya memeluk kedua kaki dan membenamkan wajahnya di sana. Ia benci kenyataan bahwa ada sesuatu yang harus disyukuri dari apa yang menimpanya. Melalui musibah yang ia terima, mungkin saja gadis kecil itu akan mendapat keadilan.
"Aku tahu kamu pasti merasa segalanya berat saat ini. Aku bukan datang untuk meminta bantuanmu, aku datang untuk menemanimu melewati semua ini. Karena sekarang, yang paling utama adalah dirimu. Pulihlah, dan kamu harus berdiri melawan laki-laki itu. Dia sungguh tidak pantas menghirup udara di luar sana, Dunya." Rita memeluk Dunya yang masih pada posisinya. "Jangan berpikir kalau kamu sendirian. Kamu tidak sendiri. Kamu tahu semua orang di rumah sakit ini sangat peduli kepadamu. Mereka semua ingin kamu kuat dan melewati semuanya, meskipun terasa berat."
"Assalamualaikum."
Dunya terhenyak mendengar suara Aqshar. Hal itu membuat Aqshar menghentikan langkah tepat di ambang pintu. Ia tahu bahwa Dunya pasti trauma. Untuk semua yang sudah ia lewati, gadis itu akan merasa takut kepada semua pria.
Fase ketiga. Bahwa korban pemerkosaan akan merasa takut pada semua pria. Trauma membuatnya tidak ingin berdekatan atau bahkan mendengar suara pria mana pun.
Fase ketiga ini akan membuat fase kedua semakin memiliki efek buruk. Karena merasa dihantui rasa takut, maka keinginan untuk menyakiti diri sendiri akan semakin besar.
Tidak ingin membuat sahabatnya ketakutan, Aqshar memilih mundur dan keluar dari kamar gadis itu. Ia hanya menitipkan sebuah tas berisi pakaian milik Dunya yang diambilnya di rumah gadis itu.
"Ada apa?" tanya Kaisa yang juga baru tiba dari makan siang.
"Sepertinya untuk sementara aku tidak bisa berada di dekat Dunya. Kamu harus menunggunya sendirian di kamar, dan aku akan menunggu di sini."
Kaisa mengerti apa yang dimaksud Aqshar, sehingga ia tidak mempertanyakan lebih lanjut. Ia hanya mengangguk dan meninggalkan sebotol air mineral untuk pemuda itu.
Diam-diam air mata Aqshar kembali mengalir. Ia baru saja bicara dengan sang ibu yang memintanya untuk pulang dan berhenti peduli kepada Dunya.
"Semua itu karena kesalahannya sendiri. Untuk apa dia ada di sana sampai tempat itu tutup? Artinya dia yang memberi kesempatan kepada Herman untuk melecehkannya. Jadi untuk apa kamu masih di sana dan mengorbankan waktu untuknya?"
"Ma, kalau hal serupa terjadi kepada Feby, apa kamu akan mengatakan hal yang sama? Jangan lupa kalau Mama juga punya anak perempuan, yang bahkan ketika keluar rumah memakai celana pendek, selalu pulang malam. Apa kalau ada laki-laki yang melecehkannya, Mama akan menyalahkannya yang selalu memakai baju terbuka dan mengundang laki-laki untuk memperkosanya?"
"Jaga bicaramu, Aqshar!"