Rita membuka amplop yang dititipkan Arya --ahli forensik yang memeriksa Dunya-- kepada Shanty. Dengan tangan gemetar, ia merobek ujung amplop dan mengeluarkan tiga lembar kertas yang dilipas menjadi satu.
Rita tidak peduli pada dua kerta lainnya, ia hanya ingin membaca apa yang ada di bagian terbawah amplop ketiga. Kakinya seketika lemas, napasnya tersengal.
"Rita, Rit!" Shanty yang melihat wajah pucat Rita langsung bergegas membantu wanita itu menuju sofa. "Apa hasilnya?" tanyanya penasaran.
Rita yang masih berusaha untuk mengendalikan diri tidak langsung menjawab. Ia menggenggam erat kertas tersebut dan memejamkan mata untuk menenangkan hatinya yang seperti akan meledak.
"Kita harus segera menemukan bajingan itu!" serunya dengan wajah memerah. Marah.
"Dia orang yang sama?" tanya Shanty penasaran.
Rita mengangguk sambil memberikan hasil forensik itu kepada Shanty.
Tertulis di sana; berdasarkan uji forensik, bahwa luka bakar di dada Dunya berasal dari brand rokok yang sama seperti yang ada pada korban dua tahun yang lalu. Lalu pola tiga garis pasa paha Dunya juga berasal dari ranting kayu. Hal serupa yang ditemukan pada kasus dua tahun yang lalu.
"Astagfirullah ... Ya Allah. Bagaimana mungkin ada manusia seperti itu di dunia ini?" kata Shanty sambil meneteskan air mata.
"Aku lebih bertanya-tanya, bagaimana mungkin orang tuanya terus membela Iblis seperti laki-laki itu?" ujar Rita sambil kembali berdiri dan menatap keluar jendela. "Sukabumi adalah kota kecil. Siapa yang mengira kalau ada tragedi yang begitu besar terjadi, dan seorang penjahat keji bersembunyi di dalamnya?"
Shanty mengangguk setuju. Ia lahir dan tumbuh besar di Sukabumi, dan kejadian ini adalah pertama kali baginya. "Kita harus bicara dengan polisi."
"Ya. Mereka harus mendengar semuanya dan kita harus melibatkan media yang lebih besar."
Shanty meraih ponsel dari saku jasnya dan segera menghubungi polisi yang menangani kasus tersebut.
Sementara Rita, ia mengirim pesan kepada semua wartawan yang ia kenal dari semua media.
Selama ini, hanya beberapa wartawan yang terlihat datang, dan berita-berita itu selalu tertutup dengan gosip para artis yang sibuk memamerkan kekayaan dan saling bersaing menghitung penghasilan. Mereka tidak peduli jika ada tragedi begitu besar. Dan mereka tidak akan pernah peduli sampai ada bagian dari keluarga mereka yang mengalaminya.
Empati di Indonesia kini nyaris lebih mahal dari sebuah hermes.
***
Dunya merenggut rambutnya kuat. Ia duduk di lantai di sudut ruang dan melipat kedua kakinya rapat. Ia menangis untuk melunturkan semua duka di dalam hati --meski itu tidak mungkin terjadi dalam jutaan tangis sekalipun.
Bukan hanya Dunya. Semua orang yang melihat tangisnya pun turut merasakan kesedihan serupa. Bahkan para pasien yang mendengar ceritanya dari perawat, mereka tidak bisa menahan air mata.
Rumah sakit itu kini dipenuhi oleh duka.