Bu Nayla tampak kegerahan. Tangannya mengibas-ngibaskan kipas kain tenun merah jambu. Sesekali ia mengusap peluh yang membasahi pelipis. Ia terperanjat saat melihat kertas putih di meja dengan kop surat bertuliskan SMU Pelangi. Wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu membuka kertas perlahan. Tangannya mengelus dada sekaligus merasa pening saat melihat nama putrinya tercatat sebagai siswa baru di sekolah elit itu.
“Lala, sini kamu!” teriaknya mengagetkan Cloe, beo peliharaan Lala yang mengantuk dalam sangkarnya.
“OMG, kaget—kaget—kaget.” Begitu kira-kira kata yang diucapkan burung itu.
“Iya, Mi. Sebentar.” Lala beranjak dari atas kasur. Suara teriakan Maminya yang setinggi delapan oktaf itu mampu tertangkap oleh indera pendengarannya, walaupun tadi ia sedang mendengarkan lagu Stitches dari Shawn Mendes penyanyi favoritnya melalui headset. Dengan setengah berlari, bergegas ia menghampiri wanita terkasihnya yang memiliki paras mirip Happy Salma itu.
“Lama amat sih, lagi ngapain kamu di kamar?”
Baru saja remaja berkulit putih, berambut hitam lurus, dan berkacamata itu membuka mulutnya hendak menjawab, tetapi sang ibu sudah mulai bersuara lagi.
“Udah, deh, enggak usah dijawab, palingan tadi kamu lagi dengerin lagunya si Shawn the Sheep, iya, 'kan?”
“Shawn Mendes, Mami.” Lala protes karena Mami salah menyebutkan nama idolanya yang ganteng itu. Mami seenaknya saja menyamakan penyanyi kece favoritnya dengan nama domba.
“Terserah, deh. Lala, Mami enggak salah lihat, 'kan ini?”
“Maksud Mami?”
“Baca surat ini.” Bu Nayla menyerahkan surat yang sudah selesai dibacanya ke tangan Lala.
“Memangnya kenapa surat ini, Mi?”
“Hadeuuh, masih enggak nyadar juga kamu, La? Kamu, kan dari TK sampai SMP selalu juara umum. Nilai-nilai kamu di SMP juga bagus-bagus.” Bu Nayla diam sejenak kemudian meneguk air putih dalam gelas. Tenggorokannya mulai terasa kering.
“Iya dong, otak cemerlang Lala, kan warisan dari Mami,” ucap Lala dengan nada bangga.
“Bukan itu maksud Mami, La. Masa dengan nilai bagus kamu di SMP, enggak bisa masuk SMU Negeri? Sekolah swasta, 'kan biayanya mahal, La. Nih lihat, rincian biaya yang harus dibayar ke SMU Pelangi, bikin jantung dan kepala Mami cenat-cenut. Kita, kan bukan orang kaya, La.”
“Lala juga inginnya begitu, Mi. Sekarang kan zamannya sistem zonasi.”
“Sistem zonasi? Maksudnya gimana, La?” Dahi Bu Nayla berkerut sembari fokus memandangi putri semata wayangnya itu.
“Jadi begini, Mi. Dikarenakan di dekat rumah kita enggak ada SMU Negeri yang dekat, nilai sebagus apapun kalau jarak rumah kita jauh dari sekolah negeri, tetap aja enggak akan diterima.”
“Oh, jadi begitu aturan barunya.” Bu Nalya manggut-manggut. “Ya udah deh, nasi sudah menjadi bubur ayam lezat, Mami pasrah. Tinggal dinikmati aja. Mencoba untuk menerima kenyataan,” lanjutnya.