Hari ini suasana di aula SMU Pelangi ramai dan meriah. Semua siswa baru kelas sepuluh dikumpulkan di ruangan itu. Para panitia yang terdiri dari siswa kelas sebelas dan dua belas sudah berdiri di hadapan siswa-siswa baru.
Seorang siswa bertubuh agak gempal berdiri sedikit maju dari teman-temannya yang sesama panitia. Beberapa kali jari telunjuknya mengetuk-ngetuk mic yang sudah sejak tadi terpasang di tempatnya.
“Tes ... tes ... tes. Satu ... dua ... tiga. Assalamu alaikum, semuanya." Siswa itu diam sejenak, menunggu suara koor jawaban dari salamnya tadi mereda.
"Mohon perhatiannya sebentar, ya. Suara kakak jelas, 'kan?”
“Jelaaas.” Semua siswa baru menjawab dengan kompak, bagaikan grup paduan suara yang tengah mengetes nada.
“Baik, terima kasih kepada yang sudah bersedia menjawab. Kakak doakan masuk surga, dan buat yang masih jomlo segera dipertemukan dengan belahan jiwanya.”
Kali ini suara amin terdengar terdengar membahana.
“Sebelum dilanjutkan ke kegiatan inti, kakak akan basa-basi dulu sedikit dengan sebuah perkenalan, sebab ibarat pepatah mengatakan tak kenal maka tak jadian, dan kemungkinan tak akan berakhir di pelaminan." Genta menghentikan sejenak bicaranya, karena ucapan dia tadi, mengundang gelak tawa dari beberapa siswa baru.
"Nama Kakak, Genta, kakak sekarang duduk di bangku kelas sebelas IPS. Di kegiatan ini kebetulan kakak menjabat sebagai ketua panitia. Tadi pagi, Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah sudah resmi dibuka oleh Pak Kevin, kepala SMU Pelangi kita tercinta ini," lanjutnya dengan memasang wajah agak serius.
Selagi ketua panitia MPLS itu berbicara panjang lebar di depan aula, Lala dan Lili malah asyik mengobrol. Tempat duduk mereka yang strategis, menguntungkan keduanya untuk tidak menyimak pidato dari Genta.
“Duh, gerah, ya? Jadi ingin cepat-cepat pulang,” ucap Lala sambil mengibas-ngibaskan topi warna biru bertuliskan MPLS di bagian pinggir kanan topi itu.
“Iya, capek banget. Lapar plus haus juga. Eh, nama gue Lili, kalau loe siapa?” Lili mengulurkan tangannya.
“Gue Lala.” Siswa berambut panjang lurus itu menyambut uluran tangan Lili. Beberapa detik kemudian, mereka bersalaman.
“Kalau disuruh milih, gue sebenernya sih ingin masuk sekolah negeri biar biayanya agak ringan. Cuma, karena sistem zonasi, gue jadi masuk ke sini,” lanjut Lala sedikit curhat mengeluarkan uneg-uneg di hatinya.
“Oh ya? Sama dong. Gue juga ke sini karena korban zonasi.” Lili menanggapi dengan antusias. Ternyata ada juga yang senasib dengannya. “Memangnya loe tinggal di mana, La?”
“Rumah gue di komplek Bumi Asri, kalau loe?”
“Sama dong, gue juga tinggal di situ, di blok G. Loe sendiri di blok apa?”
“Gue di blok F. Wah, alamat rumah kita deketan ternyata. Berarti kita bisa berangkat dan pulang bareng dong.” Lala tampak senang mendapat teman baru satu sekolah sekaligus berdekatan rumah dengannya.
“Iya, betul. Selain itu kita juga bisa main bareng terus ngerjain PR bersama juga, horee!” Lili melonjak bahagia. Saking girangnya ia sampai tak menyadari sedang berada di mana.
“Ssstt, Li, berisik. Ngomongnya jangan keras-keras.”
Terlambat. Ratusan pasang mata tertuju ke arah mereka, begitu pun semua panitia. Perhatian mereka mengarah kepada Lala dan Lili, bahkan Genta menghentikan pidatonya. Ia mendekati Lala dan Lili.