Langit sore sudah memerah, burung-burung kecil bergerombol pulang. Terminal Bus Dumai masih sibuk dan memang selalu sibuk. Bus besar jurusan Tarutung telah dipadati penumpang, sebagian dari mereka baru saja turun dari kapal. Seorang pria muda duduk di bangku bagian tengah barisan kiri, matanya menerawang keluar jendela memandangi kenek yang sedang mengangkat muatan dan tas-tas besar ke atap bus, tapi pikirannya tidak sedang berada di sana.
“Bang.” Pria bertubuh lebih kecil duduk di sampingnya setelah menyerahkan sebotol jus jeruk dalam kemasan. Dia bersandar sembari menarik nafas, “Akhirnya kita balik kampung juga ya ....”
“Kau keliatan senang, bukannya kita pulang karna bapak sakit?” Sang Kakak mengingatkan adiknya alasan kepulangan mereka dalam bahasa daerah.
“Hehe ... Bukan gitu lah maksudku, Bang.” Si Adik nyengir, malu karena isi hatinya terbongkar.
“Kau senang pun tak masalah, sudah sepatutnya kita senang.”
Si Adik terdiam mendengar keterbukaan kakaknya. Dia teringat pada beberapa hari yang lalu, waktu dapat kabar bapak mereka sakit keras mendadak. Si kakak menolak pulang dengan alasan banyak pekerjaan, bahkan dia bilang, “Tiap hari selalu ada orang yang mati.” Justru si adik yang terus-menerus mendesak, sudah sepuluh tahun mereka merantau, sudah seharusnya pulang. Paling tidak agar para tetua dan kerabat berhenti “meneror” mereka.
Di setiap kota, ada organisasi untuk tiap-tiap marga demi menjaga ikatan silaturahmi. Si kakak berkeras tidak mau bergabung, tidak adiknya, dengan pede dia bilang akan selalu ada gunanya berkumpul di perantauan. Tapi organisasi kerap kali mencampuri ranah pribadi, berkilah atas dasar kata “peduli”. Peduli adalah satu hal. Ikut campur cenderung kepo adalah satu hal.
Si Kakak sampai ngomel-ngomel karena terus didatangi perwakilan organisasi menyuruh mereka pulang, kuping sampai panas, “Sudah kubilang jangan ikut mereka! Liat sekarang! Gerak-gerik kita diawasi terus, makan pun bentar lagi mungkin diatur mereka. Kita mau pulang atau tidak pun dicampuri! Kau ini!”
Kakak beradik itu tentu kalah setelah dibombardir sekian banyak anggota organisasi marga, pulang sudah tidak bisa lagi ditunda-tunda.
***
Mesin Bus sejak tadi telah dipanaskan, kemudian perlahan bergerak karena sudah waktunya berangkat. Si Adik memasang earphone dan langsung memejamkan mata untuk tidur. Kalau tidur sore, pukul sepuluh malam nanti saat bus menepi untuk istirahat, dia bisa terjaga dengan segar, sudah dia rencanakan untuk menonton film via hape nanti malam, lebih tenang saat orang-orang sudah terlelap.
Sementara kakaknya memandang keluar jendela terus, menatap pohon-pohon kelapa sawit yang seolah saling berkejaran. Semak-semak dan rumah-rumah papan yang dibangun ala kadarnya di tepi jalan sudah cukup membuatnya teringat kampung halaman. Dia dibawa lagi menapaki masa kecilnya saat duduk di bangku SD. Sudah lama dia ingin mengubur masa suram itu.
Kijang, pria berusia awal tiga puluh tahun itu sudah melanglang buana menghadapi kerasnya perantauan. Dia kabur dari rumah tepat sebelum genap berusia dua puluh, lantaran tak tahan lagi menahan semua kekerasan fisik maupun psikis yang dia terima sejak kecil.
Dia bukan bocah nakal yang sukanya keluyuran atau mengintip orang mandi di sungai. Masa kecilnya diisi bekerja. Bekerja dan belajar. Pagi hari dia bangun selalu pukul empat, memasak air lalu mencuci piring bekas dipakai semalam. Lantas dia memasak makanan babi, dedak dicampur sayur dan tomat mentah. Sebelum diberi makan, kandang babi harus dia dibersihkan terlebih dulu. Waktu itu, bapaknya punya dua ekor babi besar, gemuk-gemuk, ditempatkan di dua kandang berbeda. Sehabis memberi makan babi, baru lah Kijang bisa mandi. Adiknya, Elang, waktu itu masih berumur lima tahun, tak banyak yang bisa bantu. Tahunya cuma main dan makan selayaknya bocah seumur itu. Sepulang sekolah Kijang harus menjaga Elang selama ibunya di ladang. Mereka punya ladang jagung. Bapaknya? Kadang membantu, lebih banyak tidak. Berjam-jam dia menghabiskan waktu di kedai tuak. Main kartu atau catur, malamnya minum-minum, dia hampir tidak pernah tidur malam di rumah, jangan harap dia terjaga saat pagi.