Lewat pukul sepuluh malam, bus menepi di rest area. Kebanyakan penumpang turun untuk buang air, sebagian besar kembali lagi untuk tidur di dalam bus, sisanya berada di luar untuk makan atau hanya merokok. Elang memesan soto mi sedang Kijang memilih untuk mengganjal perut dengan segelas popmie. Setelah makan, dua kakak beradik itu lanjut menikmati bandrek, masih ada waktu lima belas menit lagi sebelum bus berangkat.
“Bang, bagaimana kabar kak Wirna? Masih kah kalian bersama?” Elang mengajukan pertanyaan tak terduga.
Air muka Kijang lantas berubah. Nama itu muncul lagi seperti tidak diharapkan. “Sudah dua bulan aku tidak tahu kabarnya. Kata temanku yang satu tempat kerja dengan dia, dia sudah kawin. Tapi buat apa aku peduli?” jawab Kijang dingin.
“Pacaran lima tahun, kukira kalian akan menikah, Bang.”
“Jangan singgung soal menikah, aku tidak akan pernah menikah," tegas Kijang.
“Semua orang pasti menikah, Bang.”
“Tidak aku.”
Keteguhan Kijang sama kuatnya seperti batang kayu jati. Sejak remaja dan mengenal cinta monyet sampai detik ini berkepala tiga, dia tidak mau menikah. “Wirna dari tiga tahun lalu terus mendesak mau kawin, makanya kuputuskan hubungan kami," lanjut Kijang. “Perempuan, sedikit-sedikit minta kawin, baru kenal seminggu sudah tanya kapan kawin, emangnya hidup ini cuma tentang kawin saja?”
“Wajar lah bang, mereka butuh kepastian, takut nanti tambah tua tapi tak kawin-kawin. Kita harus menikah baru punya anak, bang. Tugas kita kan melanjutkan keturunan biar makin banyak jumlah marga kita.” Elang berseloroh.
“Justru kalau ada perempuan mau kawin tanpa harus punya anak, baru lah mau aku. Untuk apa juga kita penuh-penuhin lagi bumi ini? Sudah tua dia, kita cuma merusak saja.”
“Abang lupa ya? Dalam Alkitab, sudah tugas manusia untuk memelihara Bumi," tentang Elang.
Obrolan mereka jadi lebih panas. Kijang melipat kedua tangannya di atas meja dan menatap adiknya lekat. “Coba kutanya kau, kalau andai tidak ada kita di sini, dalam sepuluh tahun bumi akan merusak atau jadi membaik?” Percakapan mereka jadi melipir membahas soal bumi.
“Hem ...” Elang bergumam. “Membaik sih, Bang. Pasti hutan tumbuh lagi, polusi tak ada lagi. Tapi kehidupan juga tak ada lagi.”