Banjir nanas bulan ini membuat harganya jatuh merosot. Satu buah dijual ke pengepul hanya seribu rupiah, banyak malah petani yang menggratiskan nanas-nanasnya ke tetangga dan kerabat seperti tidak ada harganya.
Bak mobil pikap Pak Joshua sudah penuh nanas kuning dan merah yang baru dipetik seharian. Dia pilih satu yang paling besar lalu dia potong di bawah pondok bambu tempat Kijang sedang duduk beristirahat.
“Nah, makan.”
Kedua tangan Kijang gesit menerima sepotong besar buah nanas. Dia buka mulut lebar, menggigitnya sampai muncrat-muncrat airnya yang segar. “Yang ini manis ya, Paman. Tidak masam seperti yang tadi siang kumakan," kata Kijang semringah.
“Ya, walau bibitnya sama, kadang ada saja yang buahnya agak masam. Tapi itu laku juga," sahut Pak Joshua sambil terus sesekali mengunyah daging nanas yang tebal.
Angin sore berembus kencang, Kijang memejamkan matanya menikmati suasana kebun yang agak sejuk. Ketika kelopak matanya terbuka, dia lihat si kecil Nurida berlari bersama kawan-kawan di pematang sawah yang berada di seberang jalan, jaraknya tidak jauh dari pondok bambu, sekitar dua ratus meter.
Kijang berdiri, jemarinya membentuk huruf O di depan pintu bibirnya, dalam satu tarikan nafas dia berteriak,
“NURIDA ...!!!”
Pak Joshua menoleh tapi jarak pandangnya tidak sebagus Kijang, dia tidak tahu yang lewat di seberang sana adalah Nurida, keponakannya. “Itu Nurida?” dia sempat bergumam cuek sebelum lanjut menghabiskan sisa potongan nanas di tangan.
Bocah-bocah perempuan itu mendekat ke pondok, memenuhi panggilan Kijang. Semakin dekat semakin terlihat jelas wajah-wajah mereka. Pak Joshua sadar salah satu dari mereka memang keponakan tersayangnya. Dua bocah perempuan lain adalah Sarmila dan Ribka, teman sekolah Nurida sekaligus juga anak tetangga Pak Joshua.
“Nah makan ... Makan ... Potong untuk mereka, Jang.” Pak Joshua memberi setengah potong nanas yang masih utuh.
Dengan semangat Kijang memotong dan memberi mereka masing-masing satu. Diam-diam Pak Joshua memperhatikan, Nurida mendapat potongan yang lebih besar, hampir separuh untuknya. Tapi dia diam saja, tidak mau membikin Kijang malu.
Nurida makan sangat lahap, air nanas jatuh sampai ke sikunya. Sementara dua kawannya makan dengan malu-malu. “Kalian habis dari mana?” tanya Pak Joshua kemudian.
“Habis main saja, paman," jawab Sarmila.
“Kami mau mengambil ikan cere tapi keburu sore jadi mau pulang saja. Untung lewat sini jadi dapat nanas.” Ribka menimpali, ditutup senyum lebarnya.