Ckrek ... Ckrek ... Ckrek ....
Sorotan lampu studio menyilaukan mataku, sementara kamera terus bekerja menangkap setiap gerakan tubuhku. Dengan percaya diri, Aku mulai beraksi dengan pose yang telah kuhafal di luar kepala. Pakaian minim yang menempel di tubuhku kini bukan lagi hal aneh, melainkan bagian dari pekerjaanku.
"Sekarang lihat ke kamera, satu ... dua ... tiga ...," perintah sang fotografer, seorang pria bertubuh tinggi dengan rambut keriting acak-acakan yang terlihat serius mengarahkan lensa.
Aku menuruti instruksinya dengan anggukan kecil. Pria tampan di sebelahku, partner kerja hari ini mendekat, tubuhnya yang atletis nyaris menyentuh kulitku. Bibirnya sesekali mendekat, memberikan kesan intim seperti yang diminta fotografer.
Ckrek ... Ckrek ... Ckrek ....
"Ayo lebih merapat lagi. Rileks–" Si photografer memberi aba-aba. "Bagus, Mawar. Lebih rileks lagi. Satu ... dua ... tiga!" ujar si photografer memberi interupsi.
Atmosfer studio terasa tegang, namun aku berusaha tetap profesional. Kamera terus mengabadikan momen kami—gerakan tubuh yang sengaja didekatkan, bibir yang pura-pura hampir bersentuhan. Aku menahan rasa muak yang perlahan merayap di hatiku. Dunia ini penuh tipu daya; aku tahu itu. Tapi aku juga tahu, di sini aku berdiri untuk bertahan hidup, meskipun ada saat-saat di mana aku merasa sedang melintasi batas tipis antara profesionalitas dan pelanggaran personal.
"Cut! Bagus. Sesi selesai," seru si fotografer.
Satu jam berlalu, pemotretan selesai. Aku menghela napas panjang, lega akhirnya bisa beristirahat. Namun, saat aku hendak pergi, suara partnerku menghentikanku.
"Mawar ...," ucapnya lembut.
Aku berbalik, wajahku menyiratkan kebingungan.
"Tubuhmu bagus juga. Sayang sekali ini cuma pemotretan," godanya dengan senyum miring yang tak mengenakkan. Tatapannya jelas, matanya tak pernah naik ke wajahku.
Aku tertawa dingin. "Kau pikir aku murah?"
"Ayo, Mawar. Sedikit lebih santai. Kita kan cuma bercanda," katanya sambil mencoba meraih tanganku.
Aku menepisnya dengan dingin, memungut selimut yang tersedia. "Ini ada harganya. Enak saja mau gratis," ujarku sembari membalut tubuhku dengan selimut yang kupungut tadi.
Dia tertawa kecil, tapi aku tidak peduli. Aku bergegas meninggalkan ruangan dengan langkah tegap, menyadari betapa sering aku harus menghadapi perlakuan seperti ini. Di balik ketenanganku, ada rasa jijik yang membakar.