Melihat wajahku yang kebingungan, wanita bertubuh tambun di depanku menghela napas pelan, lalu kembali berkata dengan nada prihatin.
"Memang sudah lama, Mbak. Sebelum pindah saja, dia sempat kesulitan bayar sewanya. Untungnya, dia lunasin semuanya sebelum pergi. Ngomong-ngomong, Mbaknya ini ada perlu apa ya?" tanyanya sembari memperhatikan penampilanku dari ujung kepala hingga kaki.
"Amin kira-kira pindah ke mana ya, Bu? Saya temannya. Kebetulan ada urusan penting dengannya, tapi sudah beberapa waktu saya kesulitan menghubunginya," jawabku dengan suara sehalus mungkin, mencoba menyembunyikan kegelisahanku.
Wanita itu mengernyitkan dahi, seolah mengingat-ingat sesuatu. "Wah, kalau soal itu saya kurang tahu. Tapi kalau nggak salah, dia pernah bilang mau balik ke kampung halamannya waktu pamit pindah. Nggak tahu juga kampungnya di mana."
"Baik, kalau begitu saya permisi dulu ya, Bu. Terima kasih informasinya," ucapku seraya melangkah meninggalkan halaman rumah kontrakan yang kini kosong itu.
☆☆☆
Matahari mulai turun ke ufuk barat, memancarkan sinar oranye keemasan yang membakar langit. Sepanjang perjalanan pulang, pikiranku tak henti-hentinya dipenuhi oleh kekhawatiran. Amin benar-benar menghilang tanpa jejak, meninggalkanku sendirian dengan tumpukan masalah yang terus membesar.
Dengan langkah berat, aku akhirnya tiba di kantor agensi, sebuah apartemen sempit yang telah dialihfungsikan menjadi tempat kerja. Sudah lima tahun aku bergabung dengan agensi ini, namun bisa dihitung dengan jari berapa kali aku menginjakkan kaki ke sini. Biasanya, Amin yang mengurus semua pekerjaan administratif, sementara aku hanya perlu tanda tangan kontrak di lokasi yang ditentukan.
Interior kantor ini membuatku muak. Foto-foto model, termasuk diriku, dipajang berjejer sepanjang dinding sempit. Potret wajah-wajah penuh senyum palsu itu mengingatkanku pada dunia yang selama ini kulakoni, dunia yang kini terasa rapuh tanpa kehadiran Amin.
Tapi inilah kenyataan. Ketika aku menolak bernegosiasi sendiri, pihak agensi menjatuhkan penalti besar yang menghantam karierku. Job-job syuting dibatalkan, kontrak-kontrak diputus sepihak. Aku, yang dulu berdiri di puncak popularitas, kini seperti bayanganku sendiri.
Pagi berikutnya, ketenanganku direnggut lagi. Ketukan keras di pintu rumah memecah udara pagi yang dingin. Sekelompok orang berusaha masuk, membawa surat perintah penyitaan.
"Apa maksudnya ini?" tanyaku histeris, mencoba membaca dokumen di tangan mereka.
"Mbak terlilit penalti yang belum dibayar. Rumah dan aset atas nama Mbak akan kami sita," jelas salah satu dari mereka dengan nada tegas.
Seperti ada palu besar menghantam kepalaku. Tubuhku lunglai, dunia seolah berputar. Pandanganku mengabur, hingga semuanya menjadi gelap.
☆☆☆