Matahari mulai condong ke barat saat aku terduduk di bangku kayu di depan sebuah warung kecil yang menempel pada rumah tua milik seorang nenek bernama Yeti. Rumah itu terlihat sederhana, bahkan cenderung memprihatinkan. Kayu-kayu yang membentuk dindingnya mulai lapuk, sedangkan atap sengnya berkarat, menahan derak setiap kali tertiup angin.
Burung-burung kecil pulang ke sarangnya, sementara embusan angin membawa aroma khas pepohonan basah. Udara sore di desa ini terasa berbeda—lebih sejuk, lebih menenangkan, seolah waktu melambat di tempat ini. Tapi pikiranku berputar cepat, penuh amarah dan kekecewaan. Kemana perginya kau, Amin? Awas saja nanti, kalau aku menemukanmu. Kau lari seperti pengecut, meninggalkan reruntuhan hidupku di belakangmu.
Aku tidak sadar telah menarik perhatian seorang nenek yang tadi aku tanyai. Dia menepuk lenganku lembut, meletakkan segelas air putih di meja kayu yang usianya tampak setua rumah ini. Aku menyambutnya dengan senyuman lelah.
"Minum dulu, cah ayu. Biar tenggorokanmu lega. Tenggorokan kering tak akan membantumu berpikir," katanya dengan suara lembut namun penuh otoritas.
Aku menerima air dengan ragu, tetapi senyumnya begitu tulus hingga ku tak kuasa menolak. Ketika air itu membasahi tenggorokanku, terasa seperti embun pagi yang menyegarkan hati. Aku meneguknya habis dalam sekali minum, menyadari bahwa aku lupa minum sepanjang perjalanan. Rasanya segar, dahaga perlahan hilang, lelahku sedikit sirna, meski tidak dengan keresahan di benakku.
"Terima kasih, Nek," ucapnya sopan, mencoba membalas kebaikan sederhana yang diterimanya dengan tersenyum kecil.
Namun senyum itu tidak mampu menutupi pergolakan batinku. Apa gunanya? Hidupku sudah runtuh. Harta habis, pekerjaan berantakan, masa depan kabur.
Nenek memperhatikanku dengan sorot mata penuh pengertian, seolah dia tahu apa yang sedang berkecamuk di dalam diriku.
"Namamu siapa, cah ayu?" tanyanya pelan.
"Mawar, Nek," jawabku singkat.
Si nenek tersenyum, matanya menyipit di antara kerutan wajahnya yang sarat cerita.
"Nama yang cantik. Mawar, bunga yang indah, meski berduri."
Duri, ya? Mungkin itu bagian yang pas untukku. Kehidupanku memang penuh duri—luka yang tidak terlihat tapi terasa begitu tajam. Aku mengalihkan pandangan, tidak ingin menunjukkan kesedihan yang terus membayangi.
"Jadi Mawar, apa yang membawamu ke desa kecil ini?" tanyanya lagi.
"Saya mencari seseorang bernama Amin," jawab Mawar dengan suara yang lemah. "Katanya dia tinggal di sini, tapi ternyata info itu salah."
Nenek Yeti menghela napas pendek, lalu berkata dengan nada penuh pengertian, "Nenek nggak tahu siapa yang kamu cari. Sudah lama nenek cuma tinggal sendiri di sini."
Aku terkejut. "Sendirian? Nenek hidup sebatang kara?" tanyaku tanpa sadar, sebelum buru-buru meralat, "Maaf, Nek. Saya nggak bermaksud menyinggung."
Nenek Yeti tersenyum kecil, penuh kebijaksanaan. "Nggak apa-apa. Memang begitulah hidup nenek sekarang. Kadang sepi, tapi sudah terbiasa."