Duri

Windy Effendy
Chapter #2

Ketika Ingin Sebuah Pagi yang Biasa Saja

Rei keluar dari kamar mandi sambil menggosok rambut ikalnya yang basah. Seketika ia disambut oleh dua macam teriakan yang berbeda. Satu lengkingan anak perempuan dengan nada sol paling tinggi yang bisa didengarnya, ditimpali dengan satu pekikan dengan ungkapan perintah yang terdengar begitu sengit. Rei mengerutkan dahinya. Peperangan apa lagi yang terjadi antara istrinya dan anaknya yang kedua itu. Terkadang, ia cuma ingin sebuah pagi biasa yang penuh dengan gelak tawa.

Dilihatnya jam dinding. Pukul enam lima belas. Harusnya anak-anak sudah siap. Aley dan Andra bisa dibawanya sekaligus untuk diantar ke sekolah dalam perjalanannya ke kantor.

Dicarinya sumber suara riuh itu setelah ia siap dengan baju kerjanya. Suara-suara itu semakin keras ketika ia turun dari lantai dua dan melihat area ruang makan. Meja makan terlihat penuh dengan beberapa wadah plastik yang belum disusun menjadi bekal sempurna. Di satu sudut, ada satu wadah pepaya yang sudah dipotong. Satu tumpukan sosis yang sudah digoreng ada dalam wadah di sisi lainnya. Sementara, di sudut dapur, Aley sedang sibuk meneriakkan pendapatnya kepada Anya yang sedang melotot.

"Ada apa ini?" tanya Rei sambil membuka tudung saji yang terdesak di tengah-tengah kekacauan di atas meja makan. Ia menatap beberapa roti bakar yang setengahnya tampak terlalu hitam. Ia pun duduk dan mengambil sepotong.

Anya bergegas mendekatinya. "Ini, lo, Pa, Aley tidak mau bawa bekal buah ke sekolah."

"Tapi aku gak suka pepaya, Papa!"

Gadis kecil itu menghambur ke dekat kursinya. Rei menghela napas sambil merangkul anak tengahnya. Persoalan sekecil itu membuat dapur menjadi arena perang tanding bagaikan baratayudha. "Kalau Aley tidak suka, ya bawakan yang dia suka, Ma," katanya dengan santai kepada istrinya.

Anya melotot kepadanya. "Tidak bisa! Apa yang sudah kusiapkan harus diterima. Anak-anak harus belajar makan semua."

Dan acara belajar makan semua itu dilakukan di pagi hari yang genting seperti ini.

"Aley sudah mandi?" tanya Rei kepada anak keduanya itu.

"Sudah!" jawab Aley sambil bersungut.

"Cepat ganti baju. Papa antar, sekalian ke kantor. Mana Andra?"

Ganti Anya yang merengut. "Andra masih tidur."

"LhoBangunin, dong. Jam segini kamu masih biarkan Andra tidur?"

"Pekerjaanku banyak, mana bisa kerjakan semua. Kenapa Papa tidak bantu bangunkan Andra?"

Astaga. Selepas subuh, ia sudah sibuk membantu merapikan ruang tamu hingga ke ruang makan—yang sekarang sudah kembali berantakan—selagi Anya sibuk di lantai atas dengan anak-anaknya. Selesai membersihkan ruang bawah selepas subuh tadi, Rei segera mandi. Kini ia masih harus mendapati anak-anaknya belum siap berangkat sekolah.

Rei menatap Anya yang berlari ke atas untuk membangunkan Andra. Di belakang istrinya, Aley ikut naik ke atas dengan wajah bersungut-sungut.

Tak lama, terdengar beberapa teriakan. Suara Andra dan Anya. Rei menghela napas. Sungguh melelahkan menemukan setiap paginya yang harus begini. Belum lagi dapur yang masih berantakan di depan matanya. Terlintas di benak Rei, mungkin ia harus lebih banyak membantu Anya. Namun, pekerjaannya yang begitu menyita waktu membuatnya sering pulang dengan kelelahan dan langsung tidur pulas. Terkadang ia masih harus melanjutkan draft gambar atau presentasi rancangan rumah untuk kliennya dengan bekerja di depan laptop semalaman.

Terdengar langkah kaki menuruni tangga. Arga, anak sulungnya, sudah siap berangkat. SMA Arga tidak jauh dari rumah. Arga sudah biasa membawa motor sendiri sehingga tidak perlu merepotkannya.

Lihat selengkapnya