Pukul delapan tepat, Rei sudah duduk di meja kerjanya. Ia berusaha untuk tidak mengingat segala keriuhan pagi ini. Ada dua rapat dengan klien pagi ini yang membutuhkan konsentrasi penuh. Niatnya untuk menghubungi Anya begitu tiba di kantor pun menguap begitu saja.
Gambar-gambar yang akan ditunjukkan kepada klien pertama di hari itu sudah siap. Namun, Rei harus mengeceknya sekali lagi. Pukul 08.30, tamunya akan datang. Rei membuka laptopnya segera, lalu memeriksa ulang gambar rancangan denah gedung pertemuan permintaan kliennya.
Baru sepuluh menit Rei berkonsentrasi di layar, telepon genggamnya berdentang. Mode focus teleponnya baru mulai pukul 9, yang membuatnya masih bisa mendengar tanda pesan masuk. Tanpa sengaja Rei melirik telepon genggamnya. Ternyata pesan masuk di email. Bank statement dari rekening cadangan Rei—yang kartu ATM-nya dipegang Anya—sudah masuk.
Muncul sebuah rasa menggelitik. Rei membuka tab email-nya dari laptop, membuka pesan yang baru masuk tadi, dan mengetuk lampiran yang tertaut. Sederet tulisan dan angka-angka terpampang di layarnya. Dengan cepat, Rei membaca dari atas ke bawah.
Sekilas tidak ada yang berbeda dengan bulan kemarin. Terlihat lalu lintas transaksi biasa seperti pembayaran uang sekolah, asuransi, pembayaran uang les anak-anak, dan—tunggu dulu! Rei menemukan beberapa transaksi yang tak ada dalam pembicaraannya dengan Anya.
Ada sejumlah uang yang dikirimkan kepada Yayasan Adi Luhur dengan berita: donasi Ibu Anya. Rei mengerutkan dahinya. Apa itu Yayasan Adi Luhur? Anya tidak pernah berdiskusi dengannya untuk pemberian donasi itu. Baru kali ini Rei mendengar nama yayasan itu.
Rei menatap jumlah yang dikirimkan Anya. Tiga juta rupiah. Kemudian, Rei melihat tanggalnya. Tiba-tiba, Rei teringat sesuatu. Bulan kemarin, Rei mendapatkan bonus dari proyek rancangannya yang baru selesai. Rei ingat, ia meniatkan akan mengirimkannya kepada Anya sebagian. Setengah dari jumlah bonus yang diterimanya pun ditransfer Rei ke rekening yang dipegang Anya itu, sambil mengirimkan pesan, aku kirim uang untuk tambahan jajan anak-anak.
Rei ingat betul, Anya membalas dengan ucapan terima kasih. Diceknya tanggal uang masuk. Benar, transferan donasi itu terkirim di hari yang sama. Ditelusurinya barisan deskripsi pengiriman uang di atas dan bawah berita donasi. Ada beberapa transaksi yang jumlahnya tidak seberapa, tetapi cukup banyak. Dan beritanya nyaris sama. Pembayaran kekurangan kue ini kue itu, makanan ini makanan itu. Napas Rei tertahan. Jadi, Anya membeli makanan dengan berutang? Sebanyak ini?
Rei mengambil kalkulator dan menjumlahkan beberapa transaksi itu. Ditambah dengan donasi tadi, jumlahnya sudah sekitar lima juta! Padahal Rei mengirimkan sekitar 6,5 juta ke rekening itu. Ditelisiknya lagi barisan berikutnya. Dan itu dia! Sebuah transaksi senilai 1,5 juta dengan tujuan penerima yang sudah sangat dikenalnya. Nama ibu Anya tertera di sana.
Dunia tiba-tiba berputar. Rei seperti menemukan sebuah pintu baru yang membuka ke sisi lain istrinya. Dari apa yang ditemukannya, jelas Anya telah menggunakan seluruh uang tambahan yang diberikannya untuk keperluan yang tidak sesuai dengan niatan awalnya. Tak ada sepeser pun yang digunakan Anya untuk kepentingan anak-anaknya. Benar-benar tidak seperti yang dibayangkan oleh Rei. Ia mengira, anak-anaknya sudah dijamu dengan jalan-jalan ke Tunjungan Plaza, nonton film anak-anak terbaru di XXI, dan memiliki beberapa baju baru serta makan kudapan lezat bersama ibunya. Tak satu pun ada.
Ruang kantornya terletak di sebuah gedung yang tak terlalu tinggi. Dari lantai tiga, Rei masih bisa melihat taman umum yang ada di depan gedungnya. Biasanya, dari jendela kantornya, Rei memandangi taman itu sambil mengamati aktivitas di sana. Rei mencari inspirasi untuk desain rancangannya yang terbaru. Banyak ide-ide baru bermunculkan ketika melihat taman yang asri itu. Namun, kali ini Rei tak melihat apa pun di sana. Hanya ada kabut tipis yang menutupi matanya. Kabut yang memenuhi kepala dan menyesak dalam hatinya. Bahkan, seakan bergumpal-gumpal kabut mengelilinginya saat ini. Apa yang ditemukannya telah membuatnya jatuh dalam muram.
Muncul keinginan untuk menggali lebih dalam tentang apa yang dilakukan Anya selama ini. Dalam satu tahun terakhir, Rei memang merasa ada yang aneh. Seolah-olah dirinyalah yang selalu bersalah dalam setiap pertikaian. Bila ada masalah di rumah, Rei mencoba menegur Anya yang kemudian berakhir dengan dirinya yang meminta maaf. Terkadang, saat pertengkaran sudah berlalu, Rei merenung sendiri. Mengapa selalu dirinya yang salah? Namun, Rei pun merasa dirinya tidak memberikan waktu dan tenaga sepenuhnya pada pernikahan itu. Ia selalu merasa apa yang dikatakan Anya adalah benar.
Belum sempat Rei menyibak kabut dalam kepalanya, terdengar seseorang memanggilnya.
"Pak Rei, sudah hampir setengah sembilan. Bapak ditunggu di ruang meeting. Persiapan untuk rapat dengan Pak Hendra."
Ia pun tersentak. Hera, sekretarisnya, sudah berada di hadapan.
"Ah." Rei cepat-cepat mengusap mukanya dengan kedua telapak tangannya. Ia menguatkan hati untuk fokus pada pekerjaan. Masalah Anya dan misteri yang menyelimuti akan dipikirkannya setelah membereskan pengajuan rancangan gedung Pak Hendra.
"Bapak sakit?" tanya Hera.
Rei menggeleng. "Nop. Aku cuma capek sedikit. Oke, tunggu aku di sana, ya. Bilang ke Asana, semua dokumen harus sudah ada di ruangan."
Sekretarisnya mengangguk. "Sudah, Pak. Asa sudah siap di ruangan, menunggu Bapak."
Rei menutup laptopnya. Sambil berdiri, ia berkata, "Tolong bawakan kopi ke ruang meeting, ya, Hera. Sepertinya aku harus waras dulu ini dengan kopi."