Duri

Windy Effendy
Chapter #6

Perkenalan dengan Iblis

Dalam sekejap, hari itu berubah menjadi hari yang sibuk untuk Rei. Sepulangnya dari bank, ia langsung disodori dengan berbagai urusan yang harus diselesaikannya. Bubur ayam yang sudah tak terlalu panas pun dimakannya cepat-cepat.

Sambil mengecek email yang masuk, Rei menyelesaikan sarapannya. Sudah pukul sepuluh kurang lima menit, waktunya untuk mempersiapkan rapat dengan timnya.

Hera, panggilkan Asana ke sini.

Rei menghubungi sekretarisnya lewat chat di ujung layarnya.

Siap.

Jawaban pendek dari Hera muncul kemudian.

Tak sampai lima menit, Asana sudah muncul di depan pintu ruangannya.

“Masuk, Sa.” Rei menunjuk ke meja berkursi delapan yang ada di sudut ruangannya. “Rancangan yang ditandai sudah kukirim ke email tim tadi malam.”

“Iya, Pak. Saya sudah cek.”

“Anak-anak sudah datang? Suruh masuk semua kalau sudah siap, saya mau briefing sekalian.”

Asana meletakkan tabletnya dan beberapa berkas yang dibawanya, lalu keluar ruangannya sebentar. Tak lama kemudian satu rombongan pasukan tahan lembur masuk ke ruangan Rei.

“Pagi, Pak.”

“Syelamat pagi, Bapak!”

“Pak Rei, pagi.”

Aneka rupa salam yang ditujukan kepadanya terdengar bersahutan. Sambil mengangguk, Rei duduk di kursi paling ujung. Asana membagikan beberapa kertas kepada anggota timnya. Setiap anggota pasukan Asana membuka berkas itu sambil mengamati satu gambar yang sudah terpampang di atas meja.

Rei membuka laptopnya, mulai menunjukkan beberapa perubahan desain penting yang harus dilakukan sesuai permintaan klien. Gambar di atas meja itu masih berupa draft denah kasar dengan coretan di sana sini. Sementara, Asana membuka tablet untuk mencatat dan memberikan tanda ke beberapa bagian penting. Diskusi mereka berlangsung cukup lama. Asana dan timnya sudah tahu mana saja yang harus dikerjakan. Rei juga memastikan rapat tim hari itu sudah jelas tujuan dan detailnya. Pekerjaan yang sangat banyak masih menanti di hadapan. Rei harus membuat timnya bekerja tepat waktu.

“Oke, itu saja rasanya,” kata Rei sambil mengelus dagunya. Beberapa titik di dekat rahangnya terasa kasar karena pagi ini ia mencukur dengan terburu-buru. Keinginan untuk segera berangkat dan pergi dari rumah secepat mungkin begitu kuat. Perutnya terasa bergejolak ketika berada di dekat Anya walau sebentar saja.

Gerombolan itu pun satu per satu keluar ruangan. Tinggal Rei dan Asana yang masih sibuk merapikan catatannya, memandang bergantian ke arah laptop Rei dan tablet. Rei bisa melihat lingkaran hitam yang membayangi di bawah kelopak mata asistennya itu. Sekilas, wajah Asana terlihat lebih tirus.

“Kamu sakit, Sa?”

Pertanyaannya membuat Asana tersentak, lalu tersenyum tipis. “Enggak. Kenapa Bapak bertanya begitu?”

“Belakangan ini aku lihat kamu tampak kusut, tidak bersemangat. Tidak seperti kamu biasanya. Ada masalah?”

Asana terdiam sebentar, lalu menggeleng. “Tidak, Pak. Saya baik-baik saja, kok. Terima kasih banyak perhatiannya.”

Rei memandang asisten yang sudah bekerja bersamanya selama dua tahun itu. Rei tahu persis gelagat Asana yang tidak seratus persen fit.

“Aku enggak apa-apa lo, Sa, kalau kamu mau cerita masalahmu. Aku siap mendengarkan.”

Asana tersenyum tipis. Tetap saja di mata Rei, senyum itu terlihat pahit.

“Saya enggak apa-apa kok, Pak. Beneran. Cuma sedikit capek aja.”

“Tapi kalau karena pekerjaan kamu boleh istirahat dulu, Sa. Mau cuti mungkin?”

Perempuan yang usianya bertaut lebih muda 5 tahun dengannya itu membelalak. “Pak! Cuti? Ini pekerjaan bagaimana? Lagi sibuk-sibuknya kok saya disuruh cuti?”

Kok jadi dia yang marah, batin Rei. Tak urung ia tergelitik untuk tertawa. “Ada pegawai disuruh cuti malah enggak mau ya kamu ini. Ya udah, istirahat. Jangan terlalu memforsir diri. Kalau kamu sakit, saya yang repot.”

Asana terkekeh. “Iya, kapan lagi ya, merepotkan Bapak. Udah, saya pamit kerja dulu, Pak. Biar nanti minutes of meeting-nya bisa saya serahkan sebelum makan siang.”

“Oke, good. Jangan lupa makan.”

Perempuan itu tersenyum dan mengangguk. Setelah Asana keluar dari ruangannya, Rei merasa begitu beruntung memilikinya sebagai asisten pertama. Di kantor, hidupnya begitu diberkahi dengan sekretaris yang cekatan dan asisten yang sigap. Sementara di rumah, Rei jarang sekali disambut dengan sapaan lembut—dan pelukan hangat—yang menenangkan. Seolah urusan rumah tangga adalah demikian adanya, tanpa perlu kasih sayang dan kehangatan hati. Yang penting, uang masuk jalan terus. Setidaknya begitu menurut Anya.

Sekali lagi Rei terjebak dalam badai dalam pikirannya. Tadi sewaktu sibuk memikirkan rancangan, tak sedikit pun Anya terlintas dalam kepalanya. Begitu urusannya selesai, bayang-bayang perempuan itu muncul lagi.

Lihat selengkapnya