Duri

Windy Effendy
Chapter #8

Mencari Cahaya

Pintu berdebam setelah ditutup Anya dengan sekuat tenaga. Getarannya seolah merasuk ke tubuh Rei, mengguncang seluruh saraf dan sendinya. Sekujur tubuhnya terasa lunglai.

 Pertikaian yang terjadi baru saja tidaklah mudah baginya. Mengurai satu per satu catatan yang baru ditemukannya kemarin, lalu melakukan sesuatu yang membuat situasi semakin buruk, sebenarnya bukan pilihan untuk Rei. Namun, ia hanya ingin memberi pelajaran pada Anya.

Yang membuatnya lebih penasaran adalah apa yang ditemukannya saat mencari tahu soal ibu Asana. Soal NPD. Sebuah dunia baru yang ditemukannya. Rei merasa ada yang merayapinya di punggung ketika ia membaca soal NPD walau sekilas saja sore tadi. Rasanya seperti melayang. Membaca hal-hal yang sama sekali baru baginya, tetapi terasa begitu akrab di waktu yang sama.

Rei mengusap matanya perlahan. Sebenarnya, ia ingin berselonjor dengan santai, menikmati musik lembut, dan merebahkan diri di kasur yang empuk di kamarnya. Ketika mengingat ada Anya di sana, semua keinginan itu lenyap seketika. Malam ini akan terasa lebih nyaman dilewati di studionya saja. Satu sofa minimalis di seberang ruangan bisa disulap jadi ranjang darurat. Sengaja disiapkannya untuk beristirahat sejenak bila harus lembur pekerjaan-pekerjaan yang penting. Ternyata kini sofa bed itu sangat berguna.

Saat ini, ia belum mengantuk. Meski rasa lelah tiba-tiba menderanya seusai bertengkar dengan Anya, tetapi Rei belum ingin memadamkan deru pikirnya dengan berdiam dan bergelung dalam selimut hangat. Mengerjakan sesuatu untuk menjauhkan dari dari memikirkan pertikaian dan Anya akan lebih baik. Lalu ia teringat soal ibu Asana sekali lagi.

Rei membuka mesin pencari di perambannya, dan mengetikkan: Narcissistic Personality Disorder.

Seketika, muncullah ratusan tautan ke berbagai situs yang menjelaskan tentang NPD. Rei membuka satu tautan teratas dan mulai membacanya. Perlahan-lahan, Rei mulai mengerti apa maksudnya. Mengapa Asana tertekan. Mengapa pegawainya itu tambah begitu muram.

Yang masih terlintas—lagi—di benaknya adalah satu hal: apakah Anya memiliki gejala yang sama? Nyaris semua contoh dalam tautan-tautan itu mirip dengan yang dilakukan Anya. Bila ternyata benar, hal ini akan menimbulkan satu masalah baru baginya, juga untuk anak-anaknya.

Rei membaca lagi bagian yang menyebutkan bahwa orang yang mengidap NPD atau akan mudah sekali memanipulasi orang lain. Korban para pengidap NPD tidak akan menyadari dengan cepat bahwa mereka sedang dimanipulasi. Seringnya, lama kemudian, baru mereka akan mengetahui apa yang sedang terjadi. Mungkin itu seperti dirinya, terlintas dalam benak Rei.

Yang membuat Rei merasa bahwa Anya adalah salah satu dari mereka adalah kepiawaian Anya memutarbalikkan situasi, tak perlu merasa bersalah padahal seringnya dampak yang terjadi adalah karena perbuatannya. Seringnya Anya membuat orang lain yang merasa bersalah atas perbuatannya.

Dulu, Rei merasa terombang-ambing dalam pemikirannya sendiri ketika berada dalam situasi yang membingungkan. Anya akan menyalahkannya, menudingnya tidak becus, dan Reilah yang membuat Anya menjadi sulit mengambil keputusan. Itu sering terjadi dalam kehidupannya sehari-hari.

Pernah suatu ketika, terjadi perseteruan persoalan tugas mengantar jemput anak-anak. Rei sudah bilang, biarlah dia yang mengantar anak-anak ke sekolah, Anya bertugas menjemput. Yang terjadi, Anya sering terlambat menjemput, ada saja alasannya. Suatu ketika, Rei murka karena Aley dan Andra sudah menanti di sekolah nyaris dua jam dan belum juga dijemput. Anya berkata dia sedang ada pertemuan penting dengan klien yang tak segera selesai. Ia sudah menyuruh Mbak Mar untuk menjemput Aley dan Andra menggunakan motor—yang sayangnya tidak dilakukan segera. Mbak Mar harus menyelesaikan merapikan dan membersihkan rumah yang super berantakan karena ada pertemuan warga sebelumnya. Selesai pertemuan, Anya langsung berangkat menemui klien. Ia berpesan kepada Mbak Mar untuk menjemput Aley dan Andra selesai beres-beres. Tanpa diduga, Aley dan Andra selesai lebih cepat. Jadilah dua anak kecil itu menanti penjemput yang tak kunjung tiba hingga dua jam, sampai-sampai ibu guru kelas Aley menelepon Rei. Rei naik pitam dan mendamprat Anya habis-habisan. Anya berkelit, menyalahkan Mbak Mar yang bekerja terlalu lambat dan tidak bisa menjemput anak-anak dengan segera. Mereka pun bertengkar hebat.

Setelah itu, Anya mengomeli Mbak Mar panjang lebar dan nyaris membuat perempuan sederhana yang sudah mengurus rumah mereka sejak enam tahun lalu itu pun nyaris meminta mundur dari pekerjaanya. Rei tak tahu bagaimana akhirnya hingga Mbak Mar bertahan di rumah mereka, tetapi yang jelas ia berusaha memperlakukan Mbak Mar sebaik mungkin sejak dulu. Sementara Anya memilih bicara dengan Mbak Mar menggunakan nada sombong dan cenderung menyuruh, bukan menginstruksikan. Nada ndoro, begitu Rei menyebutnya. Berkali-kali Rei mengingatkan Anya untuk mengganti cara bicaranya, tetapi tetap saja. Lama-lama Rei menyerah, menganggap itu adalah bawaan orok.

Ada satu kejadian yang membuat Rei bertanya-tanya sejak dulu. Di akhir minggu itu, ibu dan keluarga kakak perempuan Rei datang ke Surabaya dan tidur di hotel dekat rumah mereka. Di salah satu hari, Anya mengajak ketiga anaknya untuk datang ke hotel dan ikut berenang di sana. Rei sama sekali tidak tahu bahwa Anya berniat menyuruh anak-anaknya menginap di hotel bersama ibu dan kakaknya. Ia hanya tahu mereka pergi berenang. Ketika mereka pulang keesokan harinya, muka Anya tampak kusut dan masam. Sorenya Rei berniat mengunjungi ibunya di hotel dan mengajak makan, tetapi Anya mendekati Rei sebelum berangkat.

Lihat selengkapnya