Duri

Windy Effendy
Chapter #9

Wajah Bertopeng

Rei menghabiskan malamnya dengan mencari tahu tentang gangguan kepribadian itu. Ketika kelelahan, ia pun memutuskan untuk tidur di sofa bed-nya.

Pagi berdentang di telinganya ketika panci-panci mulai panas di atas kompor. Suara itu menggelitik perlahan dan mulai menjadi kencang ketika Rei semakin sadar. Studionya yang terletak di dekat ruang makan membuatnya mudah saja mendengar aktivitas yang terjadi di dapur.

Terlalu asyik mencari tahu soal NPD membuatnya tidur lambat dan tentu saja, bangun kesiangan. Bergegas Rei bangkit dan merapikan ruangannya. Ia harus segera mandi dan berangkat ke kantor. Ketika pintu studio dibukanya, Anya terlihat sedang sibuk di depan kompor.

Tanpa bicara, Rei menuju tangga untuk mandi di lantai atas.

“Kopinya kusiapkan di meja makan.” Anya bicara tanpa berpaling sedikit pun. Rei yang baru saja menapak anak tangga pertama melihat punggung istrinya dan merasa semakin sebal. Rupanya dilanjutkan dengan perang dingin, batin Rei. Hanya menggumam—atau lebih tepatnya menggeram, Rei pun melanjutkan langkahnya.

***

Pagi pun berlangsung cepat dan padat. Bersiap, makan pagi secepatnya, lalu mengantar anak-anak ke sekolah, dilaluinya tanpa merasa perlu bertegur sapa dengan Anya. Hatinya masih berombak, badai belum mereda. Rei memutuskan untuk membiarkan waktu yang menyelesaikannya.

Sepanjang perjalanan menuju kantor, isi kepala Rei tercampur aduk. Yang paling mengganggunya adalah kejelasan soal gangguan kepribadian itu. Jauh di sudut hatinya, Rei merasa itu adalah jawaban dari ketidakjelasan Anya. Namun, ia masih merasa ragu. Tak mungkin juga ia menyeret Anya ke psikolog atau ke psikiater untuk menemukan kebenaran. Bisa-bisa istrinya mengamuk tak berkesudahan. Satu hal yang membuatnya sedikit kaget dengan sikap Anya belakangan ini adalah ketika terjadi pertengkaran, tak jarang kosakata kebun binatang yang tak bisa dibayangkannya keluar dari mulut istrinya. Tadi malam terlihat Anya menahan diri. Atau mungkin sengaja menarik diri karena ketahuan, bisa jadi.

Rei tiba di kantor dengan gamang. Ia ingin lari sejauh-jauhnya agar tak bicara dengan siapa pun. Rei ingin duduk di tepi sungai yang airnya mengalir tenang, ditemani suara dedaunan yang bergemerisik disentuh lembut oleh angin, tanpa diganggu siapa pun. Dan bila itu dilakukannya, semua karyawannya akan segera menjadi pengangguran. Kantor gulung tikar, Rei pun jadi makhluk paling menyedihkan di dunia. Tidak. Ia harus bertahan.

“Pagi, Pak,” sapa Asana yang sudah duduk di mejanya.

“Pagi, Sa.” Rei melihat Asana tampak lebih segar dari kemarin, tetapi mata pandanya tidak bisa bohong. “Pagian hari ini kamu?”

Asana mengangguk. “Iya, Pak. Sekalian jalan sama suami. Jadi bisa kerjain yang belum selesai kemarin.”

Rei tersenyum. “Oke.”

Setelah tiba di ruangannya, Rei berpikir mungkin Asana bisa memberikan gambaran yang lebih utuh tentang gangguan narsistik ini. Namun, bila ia bertanya pada Asana, itu berarti membongkar rahasianya dengan Hera.

Sembari menata laptopnya, Rei berusaha menetapkan hatinya untuk bicara dengan Asana. Bila nanti Asana marah, toh dia yang akan menanggungnya, bukan Hera. Ia harus minta bantuan Asana.

Rei berjalan keluar ruangannya dan menuju meja asistennya. “Sa, kamu ada waktu? Saya pengin bicara sebentar.”

“Oke, Pak.” Asana langsung menutup catatannya, kemudian berdiri dan mengikuti Rei masuk kembali ke ruangan.

“Duduklah,” kata Rei menyuruh Asana duduk di meja rapat agar posisi mengobrol lebih santai. Rei duduk di sisi sebelah kanan asistennya.

“Ada apa, Pak?”

“Bukan soal kerjaan. Aku mau minta bantuan kamu.”

“Ho, begitu. Pasti kalau saya bisa, saya bantu, Pak.”

Rei mengetuk jari-jarinya ke meja. “Jadi gini. Pertama, kamu tidak boleh marah pada Hera.” Rei melihat dahi Asana mulai berkerut. “Kemarin, saya bertanya pada Hera karena melihat wajahmu yang terlihat capek. Kamu kenapa. Awalnya, Hera tidak mau bilang apa-apa. Tapi kemudian dia cerita karena saya paksa. Tunggu dulu, jangan protes dulu,” kata Rei ketika melihat mata Asana membelalak tiba-tiba.

“Baik … lalu … apa kata Hera, Pak?” Asana bicara dengan tempo yang sangat lambat.

Lihat selengkapnya