Rumah kembali lengang. Semua sudah berangkat. Kini tinggal aku dan kegetiran. Aku marah besar.
Mas Rei seenaknya saja memotong dan memangkas uangku. Padahal masih banyak sekali yang harus aku selesaikan. Semalam aku sudah lelah, tak mau lagi bicara lebih panjang dengannya.
Kepalaku rasanya mau pecah. Aku harus meluapkan perasaan ini agar tak jadi penyakit dalam diriku. Mumpung masih sepi, Mbak Mar belum datang. Aku duduk di sofa tunggal bermotif bunga dan dedaunan yang terletak di sudut ruang tamuku yang berwarna hijau tua. Segelas teh hangat kuletakkan di meja kecil di sudut dekat jendela yang menjadi tempatku nongkrong setiap pagi sambil menelepon ke sana kemari. Dari sini, aku bisa mengamati situasi jalan kompleks depan rumahku dengan sempurna. Melihat keramaian tetangga yang berangkat kantor, atau mendengarkan celotehan segerombolan ibu yang suka berhenti di taman depan rumahku. Tanpa mereka sadari, aku ada dan melihat; sekaligus mendengar bisik-bisik tentang ibu itu dan ibu ini yang memiliki cerita terkini yang cukup seru untuk dibahas. Saat ini mereka belum muncul, mungkin masih sibuk dengan urusan anak di rumah masing-masing.
Aku lalu memutuskan untuk menelepon Mbak Lya.
“Assalamu’alaikum.”
“Waalaikusalam. Ada apa?”
“Repot, Mbak?”
“Enggak juga, sih. Kenapa?”
“Pengin cerita dikit.”
“Ya udah cerita aja. Tak dengerin.”
Kakakku ini memang irit bicara. Sekalinya ngomong, merepet seharian. Namun, sebagai satu-satunya saudara, dia tempatku mengadu yang paling baik.
“Abis berantem semalam.”
“Kamu sama suamimu?”
“Iyalah, sama siapa lagi. Soal rekeningku yang tiba-tiba kosong itu.”
“Lalu, apa alasannya?”
“Katanya, uang kupakai sembarangan. Padahal sudah sesuai dengan peruntukannya. Mas Rei yang mengada-ada. Dia yang pelit tidak mau memberi uang lebih kepadaku.”
“Kok dia tahu kamu pakai sembarangan?”
“Dia lihat dari laporan bulanan bank, katanya.”
“Nah, berarti bener dong kalo dari laporan bulanan bank.”
“Tapi kan aku transfer atau pakai untuk membayar keperluan anak-anak juga. Enggak ada yang bukan buat anak-anak. Juga buat Mama.”
“Dipermasalahkan juga yang buat Mama?”
Tidak perlu bagian itu diceritakan kepada Mbak Lya saat ini. “Enggak juga. Masih aman. Cuman Mas Rei ini kayak cari-cari kesalahan gitu, Mbak. Capek aku, kan. Ini ada yang belum aku bayar dan dia belum kasih.”
“Kamu sudah bilang?”
“Ya, belum, sih.”
“Kalau belum bilang, gimana dia bisa tahu? Mestinya kamu ngomong sama dia dulu secepatnya.”
“Kan harusnya aku gak perlu ngomong itu duitnya masih cukup. Tiba-tiba aja duitnya ditarik. Kan nyebelin banget.”
“Wah, gak bener itu.”
“Nah. Ya, kan?”
“Trus kamu gimana sekarang?”
“Ya, gak ada duit lah. Mau minta-minta ke dia males banget.”
“Ya mintalah. Suamimu itu.”
“Aku mau dia kembalikan kayak dulu uangnya. Mana ini tengah bulan, belum bisa minta lagi yang bulanan. Duh!”
“Emang apa yang belum kamu bayar?”
“Uang les anak-anak. Uang Mbak Mar.”
“Eh, penting itu. Cepet, ngomong aja. Jangan sampai ada masalah dengan orang-orang itu.”
“Lagi males.”
“Kamu sendiri yang kena akibatnya nanti. Kok bisa tiba-tiba, sih?”
“Dulu sudah pernah, sih. Dikasih sesuai dengan yang aku minta aja. Gara-gara ketahuan uang ada aku pinjam sebentar buat urusan lain, terus dia marah. Padahal kan aku kembalikan. Masih nunggu uang dari properti belum turun. Sudah marah-marah aja.”
“Ngobrol baik-baik, lah. Soal uang itu sensitif. Kamu harus bisa membuat dia percaya ke kamu lagi.”
“Iya, sih.”
“Eh, udah dulu, ya. Aku harus ke sekolah anak-anak. Ada acara mingguan di sana.”
“Oke. Wassalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
Sambungan telepon terputus.
Jalanan masih sepi. Rumah pun terasa hening. Hatiku terasa panas, tetapi aku harus mencari jalan agar Mas Rei kembali percaya kepadaku lagi.
Ibu, jadinya ditransfer kapan?
Pesan dari Sensei Joe masuk lagi. Tanpa kubuka, aku bisa melihat dari notifikasi di layar bagian atas. Aku harus segera putar otak ini agar tak menghancurkan nama baikku. Aku akan mencoba memastikan perihal uang ini kepada Mas Rei sebelum mencoba jalan lain.
Aku harus bayar uang les Andra dan Aley. Bisa ditransfer kapan?
Tak ada jawaban. Dia pasti sengaja tak mau membalas.
Aku malu ditagihin terus sama gurunya.
Masih tak berbalas. Rupanya Mas Rei meremehkan aku.
Kalau gak mau kasih, bilang terus terang. Kamu itu selalu membuatku serba salah. Kalau ada uang yang kupegang sendiri kan jadinya ga harus minta bolak-balik gini ke kamu
Papa Rei sedang mengetik.