Hari-hari berlalu tanpa ada perubahan yang berarti. Hubungan Rei dengan Anya masih saja beku. Sekali dua, Rei bicara seperlunya. Ia tahu, harus segera menyelesaikan urusan yang carut marut itu.
Yang membuat Rei heran, setelah percakapan lewat teks soal tidak memberi nafkah itu, Anya diam saja. Tak membahasnya di rumah, juga tak lanjut membalas pesannya lagi. Tak ada sedikit pun permintaan maaf. Anya diam saja di rumah. Walau tetap menjalankan tugasnya sebagai ibu, tetapi Anya tak bicara dengannya satu kata pun; bila tidak benar-benar perlu.
Rei menemukan tabiat Anya yang tiba-tiba diam ketika marah itu sejak awal pernikahan. Seakan masuk gua dan membiarkan Rei sendirian meraba-raba di luar tanpa tahu harus bagaimana. Melelahkan. Di titik ini, Rei memilih untuk membiarkannya saja. Pekerjaan di kantor juga sedang luar biasa banyaknya. Habis sudah tenaga Rei untuk bekerja. Sialnya, di saat sedang sangat lelah dan ingin mendapatkan kehangatan di rumah, Rei tidak menemukannya.
Tak ingin ikut tenggelam dalam kegelapan yang diciptakan Anya, Rei berusaha tetap terlihat bahagia dan ceria di depan anak-anaknya. Ia bersikap biasa—bahkan sering mengajak ketiga anaknya keluar makan bersama. Tentu saja, ibunya akan ikut dengan sendirinya. Di depan anak-anak, mereka bersikap biasa saja. Arga yang sudah lebih dewasa sepertinya memahami apa yang sedang terjadi, tetapi dia juga diam saja.
Nyaris seminggu berlalu setelah pertengkaran mereka, Rei merasa hatinya terasa begitu abu-abu. Ia membutuhkan teman bicara. Kemudian, Rei teringat kakak perempuannya. Daripada bicara dengan ibunya dan membuat Ibu menjadi ikut abu-abu, Rei memutuskan untuk bicara dengan Nala.
Siang itu, di kantornya yang sepi karena nyaris semua orang sedang pergi makan siang, Rei menghubungi kakaknya.
“Mbak, sibukkah?”
“Enggak, jam segini sudah santai. Kenapa?”
Kakaknya memang sudah tak punya anak kecil yang harus diurus. Kedua anaknya sudah kuliah, membuatnya memiliki banyak waktu luang.
“Mau ngobrol sedikit. Enggak mengganggu, kan?”
“Enggak, santai aja. Ada apa?”
“Lagi enggak enak hati aja. Abis berantem sama Anya beberapa hari yang lalu.”
“Kenapa?”
“Yah, urusan duit lagi. Aku habis mengambil semua uang dalam rekening yang biasanya untuk keperluan anak-anak.”
“Loh, gimana kamu ini. Terus bagaimana dia harus mengurus anak-anak?”
“Ya aku suruh dia kasih info. Nomor rekening berapa, jumlahnya berapa, aku yang transfer.”
“Nambah repot kamu sendiri. Emang kenapa kok diambil?”
“Tadinya, dia bikin anggaran sebulan, total berapa. Itu yang kutransfer buat operasional satu bulan.”
“Lalu?”
“Lalu, aku menemukan dia pakai uang-uang itu untuk hal yang tak semestinya. Dia transfer donasi atas namanya, yang aku tidak tahu itu donasi apa. Dia ditanya tidak menjawab, malah balik memarahi aku. Ada juga transferan untuk ibunya. Lalu ada bayar utang ini itu banyak sekali. Aku bingung, Mbak. Kalau dibayar untuk utang ini itu, lalu uang bulan sebelumnya yang sudah kukirim digunakan untuk apa? Bisa numpuk-numpuk begitu.”