Duri

Windy Effendy
Chapter #12

Memastikan Langkah

“Aku mungkin belum cerita semua ke kamu, Rei.”

“Apa lagi, Mbak?”

“He-he-he, aku diam sejak dulu karena aku tidak mau membuat hubungan kalian rusuh. Jadi, setiap kali aku bertandang ke rumahmu, atau punya kesempatan agak lama jalan sama Anya, dia selalu saja bercerita banyak hal tentang kamu. Keburukanmu, menurut dia.”

What?!” Rei terlonjak mendengar ucapan Nala dari seberang. “Cerita keburukan bagaimana?”

“Ini kan dari perspektif dia, ya. Anya selalu cerita kamu yang jarang menemani anak-anakmu, tidak mau perhatian ke anak-anak, lebih suka bekerja daripada di rumah, sibuk dengan urusanmu sendiri. Semacam itulah, intinya. Jadi dia memberi kesan kepadaku bahwa kamu itu bukan bapak yang baik. Yang aku tidak habis pikir, aku kan kakakmu. Kenapa dia cerita padaku? Apa yang dia harapkan? Aku memarahimu, atau bagaimana?”

“Sepertinya begitu, ya. Tapi soal aku gak perhatian ke anak-anak enggak banget, deh. Cara komunikasiku ke anak-anak itu yang berbeda dibanding dia.”

“Iya, aku percaya. Aku percaya kamu, lah. Kamu adikku. Di awal-awal dia sering cerita kepadaku, hm, kapan, ya. Kira-kira mulai empat tahunan … tiga tahunan yang lalulah. Ketika dia cerita kepadaku, aku berpikir keras. Ini maksudnya apa. Tapi memang aku diam saja, tidak berkomentar menyudutkan kamu, atau dia. Aku menanggapinya senetral mungkin. Lama-lama, ceritanya semakin sering. Semakin banyak cerita buruk tentang kamu yang kudengar. Jujur, saat ini aku tak peduli soal itu benar atau tidak, karena aku akan percaya padamu. Apalagi setelah kamu bercerita panjang lebar tadi. Kupikir, dia berusaha membuatku memiliki persepsi yang buruk tentang kamu.”

Rei terdiam. Ternyata, orang terdekatnya, kakaknya sendiri, sudah sejak lama dijerat oleh kata-kata Anya.

“Kenapa kamu gak cerita, Mbak?”

“Aku pikir tidak perlu juga. Kalian terlihat baik-baik saja. Yang ada kalau aku cerita, enggak ada yang percaya, kan? Udah beberapa kali aku cerita ke Ibu. Tanggapannya cuma seakan aku yang halu. Ya, udah. That’s it. Aku keep sendiri dulu. Sampai kamu cerita ini. Aku rasa bisalah diceritakan hari ini.” Nala tertawa lagi.

“Tapi sebaliknya juga, Mbak. Dia juga suka cerita hal yang tidak baik … yah, katakanlah semacam nggosipin kamu, lah. ‘Mbak Nala itu ketus, ya. Suka ngomong keras-keras.’ Macam itu. Aku cuma iya-iyain aja. Aku udah kenal kamu sejak lahir, sudah tahu modelan kamu ketus, yang apa adanya.”

Kakaknya tertawa lagi mendengar ucapan Rei. “Memang sudah begini diciptakan, mau gimana? Aku tidak ambil pusing soal seperti itu, Rei. Yang aku pikirkan, kenapa Anya ini bisa berkata beda ke aku dan kamu. Apa juga ke orang lain. Belum lagi kalo ke Ibu nanti. Beberapa kali Ibu cerita, Anya pernah curhat ke dia soal kamu juga. Katanya kamu sekarang kurang perhatian lah, enggak mau ajak anak-anak liburan, lah. Pokoknya yang model begitu-begitu.”

“Ibu juga?”

“Sepertinya sekarang ke Ibu juga begitu. Karena terakhir itu aku sempat kasih skakmat ke dia. Waktu itu dia cerita kamu yang terlalu sibuk dengan pekerjaanmu. Mendesain ini itu banyak macam sampai lupa sama anak-anak dan dia. Enggak mau ngobrol lama di rumah. Kira-kira setahun kemarin, deh, waktu kita jalan bareng liburan setelah lebaran.”

“Oh, oke. Terus?”

“Saking jengkelnya aku mendengarkan celotehan dia tentang kamu yang gak berhenti juga, aku bilang ke dia. Seharusnya, dia belajar bahasamu. Memahami dunia kamu. Maksudku, apa yang sedang kamu kerjakan, pelajari, atau geluti itu minimal dia tahu. Belajar dikit-dikit. Jadi kalau ngomong nyambung. Enggak merasa ketinggalan. Nah, abis itu dia diam. Lama setelah itu dia enggak pernah lagi telepon-telepon atau cerita-cerita ke aku.”

Ganti Rei yang terbahak. “Bagus juga kamu gituin.”

“Iyalah. Pusing kepalaku tiap ketemu dicurhatin tentang kelakuan minus kamu. Menurut dia. Yang belum tentu benar. Aku heran beneran, dia gak takut aku cerita ke kamu atau gimana, ya?”

“Itu memang dia sengaja kali, Mbak. Biar kamu tanya ke aku, negur aku. Lalu aku bersikap baik ke dia.”

“Hooo … bisa jadi. Ah, ada-ada aja kalian ini.”

“Nah, lalu aku dapat insight soal satu hal, Mbak. Namanya NPD. Narcissistic Personality Disorder. Aku merasa, Anya pengidap NPD juga.”

Lihat selengkapnya