Hari-hari berlalu tanpa kejelasan. Aku malas bicara panjang lebar dengan Mas Rei. Aku lebih suka mendiamkannya hingga nanti dia membutuhkan aku. Biasanya, tiga hari setelah kudiamkan dia akan datang sendiri kepadaku.
Namun, kali ini berbeda. Sudah nyaris satu minggu aku mendiamkannya, hanya bicara seperlunya, dia pun sama. Tidak memerlukan datang kepadaku untuk memulai bicara. Sepertinya kami sedang adu kuat berdiam. Baiklah, aku akan bergeming dan melihat sampai mana dia bisa menahan diri.
***
Tepat delapan hari setelah pertikaian kami, Mama meneleponku di pagi hari setelah anak-anak berangkat sekolah. Aku pun duduk di sofa bunga daunku di sudut ruang tamu sambil menerima telepon Mama. Ibu-ibu yang doyan bergosip itu masih belum muncul. Suasana masih lengang, hanya satu dua penjaja sayuran yang lewat. Aroma pagi masih begitu nikmat. Aku masih bisa mencium wangi tanah yang baru saja disiram oleh tetangga depan rumahku.
Namun, yang kudengar dari Mama bukanlah sesuatu yang menenteramkan. Mama berkata, saat ini banyak tagihan yang belum diselesaikan. Papa terlalu sibuk mengurusi pekerjaannya yang tidak jelas hasilnya. Terlebih lagi, sudah dua hari Papa belum balik ke rumah. Kabar terakhir, Papa masih sibuk mencari batu bertuah di Gua Istana di Banyuwangi. Batu yang katanya bisa dijual sangat mahal karena kesaktiannya. Mama pusing kepala menanti kabar dari Papa, sementara banyak tagihan rumah dan uang masih seret dari usaha Mama berdagang batik kecil-kecilan. Beberapa yang laku terjual uangnya belum masuk, sementara yang sudah masuk pun terpakai untuk menutup kebutuhan sehari-hari.
Lelah sekali aku mendengar cerita Mama ini, apalagi ketika mendengar kabar tentang Papa. Aku tidak tahu kapan Papa akan berhenti berburu benda-benda aneh yang katanya akan mahal ketika dijual. Bertahun-tahun, tak ada hasil dari petualangan Papa ke seluruh Indonesia yang membutuhkan banyak biaya itu.
Ketika aku bertanya berapa yang dibutuhkan Mama, jumlahnya cukup besar. Enam juta rupiah, di tengah bulan begini. Aku sendiri hanya menyimpan uang tidak sampai sejuta di rekeningku. Sisa-sisa dari uang yang kupinjam dari Mbak Alisa. Dan komisi itu belum turun juga.
Aku tidak mau dianggap anak durhaka bila tak membantu Mama. Sesulit apa pun, aku akan mencari jalan untuk itu. Sayangnya aku tidak dalam posisi bisa meminta kepada Mas Rei. Aku tak sudi mengemis kepadanya, apalagi buat mamaku. Pasti dia akan naik pitam.
Selesai menutup telepon dari Mama, aku mencoba menghubungi Mbak Alisa dan menanyakan kapan komisi akan turun. Tidak seberapa sebenarnya. Hanya sekitar empat juta rupiah, yang tentu akan dipotong pinjamanku kepada Mbak Alisa. Ah, hanya tersisa satu juta rupiah. Itu bila perhitunganku tak salah.
Sayangnya, Mbak Alisa berkata komisi baru turun akhir bulan. Masih sekitar sembilan hari lagi. Aku harus memutar otak untuk mendapatkan uang.
Aku kembali teringat Tantri. Aku akan mencoba meminjam kepadanya.
“Halo, Tantri?” Panggilanku langsung diterimanya.
“Hai, Anya. Ada apa?”
“Maaf mau merepotkan lagi. Aku ada urusan urgent, urusan mamaku. Aku pinjam lagi, ya? Akhir bulan ada komisi masuk, nanti kamu langsung kubayar.”
“Wah,” kata Tantri seperti menahan sesuatu.
“Bisa, ya? Terakhir, deh. Aku janji.”
“Em … berapa?” Butuh waktu lama baginya saat menjawab permintaanku.
Aku harus mencari jalan aman. “Tujuh juta, nih. Bisa?”
“Wah, banyak banget. Gak ada kayanya, Anya.”
Waduh. “Bisanya berapa?”
“Em …. Dua aja mungkin.”
Aduh, masih jauh dari harapan. “Ya udah, gak apa, deh. Boleh setelah ini, ya?”
“Eng … oke. Tapi beneran akhir bulan, ya. Kalau ketahuan aku pinjemin ke orang nanti aku dimarahi suamiku. Duit dia ini.”
“Iya, tenang aja. Pasti kubalikin akhir bulan.”
“Oke. Sebentar lagi kutransfer.”
Tak lama, denting notifikasi pun masuk. Uang senilai dua juta sudah masuk ke rekeningku. Lekas-lekas aku meneruskannya ke rekening Mama. Tak lupa aku mengirim pesan.
Ma, segini dulu, ya. Kuusahakan sisanya segera.
Mama segera membalas dengan ikon love. Tinggal aku cari sisanya. Atau aku minta kakakku membantu. Sepertinya itu lebih baik. Toh dia juga anaknya.
Ketika aku hendak menulis pesan ke kakakku, Mbak Mar masuk ke rumah lewat pintu samping seperti biasa. Yang tidak biasa, ada sebuah kotak di tangannya. Aku mengurungkan niatku menghubungi Mbak Lya.
“Apa itu, Mbak?”
“Tidak tahu, Bu. Tadi ketemu kurir di depan situ. Kiriman buat Bapak, katanya.”
“Coba aku lihat.”
Ternyata benar, kiriman buat Mas Rei. Di kotak itu tercetak logo toko kue paling mahal se-Surabaya. Ada sebuah amplop tertempel di tutup kotaknya.
Penasaran, aku ambil amplop itu dan kubuka. Ada sebuah pesan yang seketika membuat dadaku menggelegak.