Rei bertopang dagu di meja kantornya. Permainan apa yang sedang dimainkan Anya?
Tiga hari yang lalu, sahabatnya di masa kuliah, Danti, mengirimkan kue sebagai ucapan selamat atas kemenangan Rei dalam proyek Xylo Mall milik Pak Hendra. Danti bisa mengetahui kemenangan Rei karena ia juga ikut mengikuti tender yang sama. Kue itu telah diterima oleh Anya.
Rei pun meminta foto kue kiriman Danti kepada Anya. Ia membutuhkan foto itu untuk mengucapkan terima kasih pada sahabatnya. Sepulang kantor, Rei sudah kelelahan dan tak ingat sedikit pun bahwa ada kue dari Danti. Barulah keesokan malamnya, Rei teringat dan menanyakannya kepada Anya.
Dengan santainya, Anya menjawab telah memberikan kue itu ke panti asuhan. Rei sangat terkejut. Yang paling mengesalkan untuknya adalah Anya melakukan tanpa sepengetahuannya, tanpa seizinnya, dan tanpa mengatakan apa-apa kepadanya. Malam itu, Rei pun marah kepada Anya karena bertindak tanpa persetujuan. Anya hanya diam saja sambil mengatakan bahwa ia tak suka Rei mendapat kiriman dari perempuan.
Mendengar itu, Rei pun terdiam. Seketika tahulah dia apa yang terjadi. Kecemburuan Anya yang membabi buta telah membuatnya hilang akal. Ia mencoba memahami kemarahan Anya sebagai istrinya. Namun, yang didengarnya keesokan harinya lebih membuatnya tak habis pikir.
Kemarin, Rei sengaja meluangkan waktu untuk mengobrol dengan Arga di studionya selepas makan malam. Tiba-tiba saja, Arga menunjukkan beberapa foto.
“Pa, coba lihat. Kevin kirim foto-foto ini ke aku tadi sore.”
Arga menunjukkan foto Kevin yang sedang asyik memakan potongan kue cokelat dari sebuah piring. Foto yang berikutnya adalah foto sebuah dus kue yang berisi kue cokelat yang nyaris tak berbentuk. Di sekeliling dus itu ada wajah Kevin dan ibunya, yaitu Lya, kakak Anya. Rei sangat hafal dengan latar belakang di foto itu. Itu rumah di Solo, rumah orang tua Anya.
Mulut Rei menganga seketika. Jadi ke sana rupanya kue itu berlabuh. Rei bisa merasakan dadanya berdegup kencang. Sebegitunya Anya. Mengirimkan kue itu ke keluarganya, tanpa minta izin kepadanya, dan berbohong dengan mengatakan kue itu berangkat ke panti asuhan.
Sengaja Rei tidak mengatakan itu kepada Arga, yang tertawa-tawa melihat sepupunya makan ‘reruntuhan kue’. Arga tidak tahu bahwa itu adalah ulah ibunya. Jauh di dalam hati, Rei merasa sangat terluka.
“Hei! Ngelamun aja!”
Sebuah suara menyentaknya dari dunia angan. Radja, sahabatnya yang juga bekerja di kantor yang sama, di Divisi Perencanaan Sipil. Radja menjadi salah satu temannya berkeluh kesah bila sedang ada masalah. Sejauh ini, Radja adalah teman yang paling dipercaya oleh Rei. Tidak pernah bocor, dan bisa memberikan saran yang masuk akal.
“Heh, kamu. Bikin kaget aja.”
“Mikir apa?” Radja duduk di depan meja Rei.
“Urusan rumah.”
“Bertengkar sama istrimu?”
“Kind of.”
“Sabar.”
“Kamu mau dilempar buku ini? Bilang sabar, sabar. Enak aja.” Rei mengangkat satu buku tiga ratus halaman tentang Arsitektur Jawa yang ada di mejanya. Ia tahu Radja hanya bercanda.
“Eits, jangan marah, dong.” Radja terkekeh. “Berantem kenapa?”
Rei menghela napas panjang sambil menyandarkan punggungnya di kursi. “Berantemnya sudah beberapa hari yang lalu. Aku gelisah aja sama tingkah istriku itu.”