“Bisa kita bicara sebentar?” Rei menguatkan hatinya untuk bertanya. Minggu pagi yang cerah ini sebaiknya mendukung suasana hatinya.
Anya yang sedang duduk di sudut ruang tamu sambil menyesap teh hangat pun menoleh kepadanya. “Kapan?”
“Sekarang, kalau bisa. Besok sudah Senin. Semua sudah sibuk. Anak-anak lagi main di lapangan, kan? Mumpung masih pagi.” Rei pun duduk di sofa panjang depan rak yang berisi foto-foto keluarga dan aneka piala pencapaian anak-anak.
Anya meletakkan mug tehnya. “Mau bicara apa?”
Rei menatap perempuan yang sudah sembilan belas tahun mendampingi hidupnya itu. “Aku ingin tahu kenapa kamu selalu berbohong kepadaku.”
Alis Anya bertaut. “Berbohong kepadamu? Soal apa?”
“Banyak hal.”
“Coba sebut.”
Perempuan ini lupa, atau pura-pura lupa, batin Rei. “Yang terdekat. Kue dari temanku. Kamu apakan itu?”
“Aku kan sudah bilang aku kirim ke panti asuhan!” Nada bicara Anya mulai meninggi.
Belum apa-apa ini sudah marah. Tanpa suara, Rei menunjukkan foto Kevin dengan wajah Lya di sana, plus seonggok kue cokelat tak berbentuk, di meja dekat mereka. Foto yang sengaja dikirimkan Arga ke ponsel Rei atas permintaan ayahnya.
Anya terlihat kaget. “Da—darimana kamu dapat foto itu?”
“Pokoknya ada.” Rei sengaja tak ingin melibatkan Arga. “Jadi kamu kirim ke Solo? Demi apa?”
Perempuan di hadapannya tampak kehabisan kata-kata. Rei berpikir, dalam satu kali hajar dia sudah menang. Namun, ternyata itu salah besar.
“Demi harga diriku! Demi tidak menyia-nyiakan makanan! Demi nama baikmu! Apa kata orang kalau tahu ada perempuan kecentilan sama kamu?”
“Astaga, Anya. Itu temanku! Teman kuliahku! Dia sudah menikah, punya anak, hidup bahagia! Apa yang membuatmu punya pikiran gila begitu?”
“Kata-katanya, yours truly! Apa itu pantas diucapkan ke lelaki yang sudah menikah juga? Bagaimana mungkin tidak ada maksud tersembunyi? Atau kamu yang kecentilan sama dia?”
“Anya!”
“Apa lagi? Kamu selingkuh sama dia?”
Rei merasa perutnya mulai bergejolak. Ada naga bertaring yang ingin meronta keluar dan menelan perempuan yang duduk di hadapannya. Bisa-bisanya Anya menuduhnya memiliki jalinan rahasia dengan sahabat masa kuliahnya itu.
“Kamu apa-apaan? Tidak ada sama sekali! Danti sahabatku saat kuliah, rekan kerja juga sesama arsitek. Sembarangan saja kamu bikin cerita. Ucapan seperti itu sudah umum! Siapa tahu itu template dari kartu ucapan tokonya? Kamu ini tidak dicari tahu dulu main nuduh aja!”