Hari Minggu itu berlalu seperti neraka. Debar-debar di jantungku rasanya enggan mereda. Aku seperti sedang berada dalam kobaran api yang menyala-nyala. Aku ingin mencakar mukanya. Aku ingin mencabik mulutnya. Aku tak mau disalahkan.
Pertengkaran tadi berakhir dengan perginya Mas Rei dari rumah. Mungkin itu lebih baik buat kami berdua. Menenangkan diri sendiri-sendiri, tanpa perlu melihat satu sama lain. Bila perlu aku keluar rumah setelah ini, mengajak anak-anak dan bermain sepuasnya. Nanti, atau besok, barulah aku memikirkan apa yang sebenarnya telah terjadi.
Aku tak habis pikir pada apa yang dikatakan Mas Rei. Aku bermuka dua? Aku selalu berbohong? Aku tidak peduli padanya? Sepertinya dia sedang bermimpi. Semua yang kulakukan adalah demi keluarga ini. Dia tidak tahu bagaimana aku sudah jungkir balik demi menyelamatkan situasi.
Bila Mas Rei menyimpan sendiri uangnya dan tidak memberikannya kepadaku, apa itu yang dinamakan pemimpin keluarga? Ia memang harus belajar agama lebih dalam. Aku sangat lelah mengurus agar semua urusan tetap berjalan lancar walau dalam kondisi pas-pasan. Mas Rei tidak pernah memahami perjuanganku.
Aku yang merasakan saat tak punya uang sepeser pun di dompet. Mas Rei susah dihubungi, telepon tidak diangkat dan pesan tidak dibalas. Aku harus memutar otak untuk memenuhi kebutuhan saat itu juga. Ada kalanya itu permintaan anak-anak untuk jajan, atau kebutuhan rumah yang habis dan harus dibeli saat itu juga, bahkan hingga pembayaran les anak-anak seperti beberapa saat yang lalu. Siapa lagi yang bisa menolong diriku bila bukan diriku sendiri? Aku menjalin hubungan dengan teman-teman baik dan itu membuatku mudah mendapatkan bantuan. Meski harus merayu dan membuat janji yang sangat mungkin akan meleset, mereka tetap mendukungku. Selalu ada bantuan yang membuatku masih bertahan hidup.
Aku masih bisa mengatasi duniaku dengan caraku. Aku cukup menjelma menjadi perempuan paling sopan dan ramah serta terpuji di dunia, dan mereka akan seketika jatuh hati dengan caraku bicara dan mendekati mereka, teman-temanku yang selalu ada ketika aku kesulitan.
Lalu di mana Mas Rei berada?
Apa yang diharapkan Mas Rei? Ia mau aku menjadi seperti keluarganya? Terlalu banyak aturan yang tidak perlu dan terlalu banyak batasan yang merepotkan. Menata rumah, menata makanan, menata tempat tidur, semua itu bisa diatur dengan mudah. Seharusnya, Mas Rei tak perlu terlalu banyak mengurus rumah. Yang penting semua beres di tanganku.
Di antara itu semua, ia menganggapku berbohong? Terkadang aku kesulitan memenuhi semua standarnya.
Bagiku, ia terlalu jauh mengurus urusan remeh temeh di dalam rumah. Itu berarti ia tak percaya padaku. Ia tak mau melepaskan urusan rumah tangga padaku karena meremehkan aku. Sebegitu susahnya melepaskan urusan yang bukan tanggung jawabnya. Ia pasti terlalu menuruti ibunya. Harus begini, harus begitu. Hidup dengan terlalu banyak aturan!
Memang ajaran keluargaku dan keluarganya jauh berbeda. Keluarganya berkecukupan sejak dulu, hingga kini. Itu membuatnya merasa seolah semuanya mudah didapatkan, mudah diatasi. Sementara, keluargaku harus berjuang bulan demi bulan untuk bertahan hidup. Pendapatan Papa yang tidak jelas, membuat kami harus naik turun mengikuti ombak yang datang. Dan Mama, yang menjadi pahlawan kami. Mama yang telah membuat kami bertahan dan ada di titik ini sekarang.
Mama yang sangat kukagumi itulah yang mengajarkanku bagaimana cara bersikap, bagaimana cara memimpin orang lain, bagaimana cara bicara dengan anak-anak. Toh, semuanya berjalan lancar. Anak-anak juga patuh padaku, Mbak Mar juga segan padaku. Mana yang salah? Semua sudah sesuai dengan ajaran Mama kepadaku. Dan itu terasa sangat benar.
Mama juga yang mengajarkan aku bagaimana hidup harus dinikmati dan dipandang tinggi oleh orang lain. Mama mengajarkan aku bersosialisasi dengan baik, sekaligus menempatkan diri di antara orang banyak dengan tepat. Aku saat ini disegani di komunitas atau lingkungan mana pun tempatku berlabuh. Mereka tahu aku keturunan priyayi. Selain mereka menjaga sikap dan kata-kata di depanku, mereka juga tak berani macam-macam denganku.
Aku belajar banyak dari Mama, yang telah menghidupi keluargaku dengan segala kemampuannya. Perempuan yang tangguh, yang patut dihormati, yang patut diberikan penghargaan sebesar-besarnya. Itulah sebabnya kini aku bisa menjadi seperti ini. Aku bisa mengatur anak-anak dan keluargaku dengan sangat sempurna.