Duri

Windy Effendy
Chapter #18

Bermain dengan Batas

Pulang ke rumah seperti sedang menuju ke sebuah rest area dari jalan tol yang panjang. Sebentar saja, lalu bergegas pergi lagi. Melepas dahaga sejenak, kemudian melanjutkan perjalanan.

Seperti itulah Rei memandang rumahnya sekarang. Bonusnya, ada ketiga permata hidupnya di sana. Sesempit-sempitnya waktu yang ia miliki, Rei bertekad untuk terus menyempatkan waktu mengobrol, bercanda, dan tertawa bersama mereka. Seringnya di pagi hari, sebelum berangkat sekolah, dan sepanjang perjalanan ke sekolah. Bahkan beberapa kali Rei meminta Arga ikut dalam mobilnya. Sekalian jalan mengantar ketiganya, Rei rela walau harus sedikit terlambat masuk kantor.

Dan tidak ada sepatah kata pun untuk Anya.

Hatinya masih patah-patah. Rei masih enggan mencari perekat yang paling rentan sekalipun. Biarkan saja begitu, pikirnya. Ia hanya akan terus melihat. Ia tahu bahwa harus bicara, segera, sebelum segera basi. Namun, lidahnya terasa kelu. Ada gelombang yang menerjang dadanya ketika ia berusaha untuk memulai percakapan. Maka ia memilih diam. Meredakan gelombang itu lebih penting. Sebelum semakin tinggi dan menenggelamkan hidupnya.

Yang membuatnya heran, ada saat-saat Anya tampak sengaja mendekat padanya. Tiba-tiba ada pelukan hangat sebelum berangkat ke kantor. Pelukan yang justru membuat sekujur tubuhnya menegang. Keajaiban yang tidak tepat waktu.

Pulangnya ke rumah sudah sangat larut, sengaja. Seringnya Anya dan anak-anak sudah tidur. Maka hanya pagi harilah tempat ia bisa bertemu dengan semuanya. Dan beberapa paginya dihiasi dengan pelukan Anya. Yang tidak dibalasnya.

Sarapan pagi terlihat lebih istimewa. Yang membuat Arga berkerut keningnya. Apakah uang untuk menyiapkan itu semua adalah hasil dari meminjam atau membeli tanpa membayar lunas? Pikiran itu membuatnya tak mampu menelan dan menikmati makanan yang dihidangkan Anya. Nasi uduk lengkap—yang sangat tak mungkin dibuat oleh Anya sendiri. Soto lengkap yang tersaji di pagi hari. Bahkan sekali ada rawon lengkap di sebuah sarapan pagi! Makanan berat yang harus dicerna di pagi hari, yang membuatnya memilih untuk tidak menikmatinya. Lebih baik nanti siang mencari rawon di sekitaran tempat kerjanya daripada harus makan sepagi itu.

Melihat semua itu, ingin rasanya Rei mengguncang-guncang tubuh Anya sambil bertanya apa maksudnya. Ia berutang ke mana lagi untuk semua hidangan itu. Rei bahkan hanya beberapa kali mengirim uang ke rekening yang dipegang Anya hanya untuk keperluan anak-anak yang diminta Anya. Pikiran bahwa makanan itu dibeli dengan berutang membuatnya semakin tidak berselera makan.

Dan seperti bisa diduga. Perlakuan istimewa itu—semua pelukan dan hidangan set lengkap di pagi hari—hanyalah sementara. Tidak sampai seminggu, semuanya sudah lenyap. Dan Rei tak peduli.

***

Dua minggu setelah insiden peminjaman uang yang gagal kepada Ardian, sudah masuk bulan baru. Anggaran yang diajukan Anya pun dipenuhi oleh Rei. Uang masuk kembali di rekening yang dipegang istrinya. Hidup Rei damai untuk beberapa saat dalam urusan uang. Namun, tidak untuk hal lain.

Beberapa kali, Nala mengirim pesan yang berkata bahwa Anya menghubungi ibunya dan bercerita panjang lebar soal hidupnya yang kekurangan uang. Anya berkata kepada ibu mereka bahwa Rei memberi uang hanya bila diminta, selalu pulang malam, dan tidak pernah meluangkan waktu untuk anak-anak. Tidak pernah berkomunikasi dengan Anya.

Rei merasa Anya sedang menebarkan jaring-jaring pengaman di sekitarnya. Beberapa bapak tetangga kompleksnya pun dengan iseng menggodainya perihal seringnya ia pulang malam di WhatsApp Grup lingkungannya. Dari mana mereka tahu bila Anya tak bicara dengan para istrinya? Dan untuk apa itu dilakukan?

Datang lagi telepon dan pesan dari kakaknya, Nala, yang mengatakan Anya sudah mulai mengirimkan pesan perihal dirinya. Rei yang tidak pernah mengajak liburan anak-anak, Rei yang sibuk sendiri, Rei yang memberi uang ala kadarnya. Anak-anak sering menangis dan sedih karena ayahnya tidak perhatian.

Rei tertawa mendengar itu. Dunia baru yang diciptakan Anya telah membuatnya terlihat sangat buruk. Untungnya ia mendengar dari orang terdekat. Entah apa lagi yang disebar di luar sana tentang Rei, yang tak didengarnya kembali. Sepertinya, Rei harus bisa menunjukkan dan membuktikan bahwa ia tak salah. Namun, untuk apa? Hanya kebenaran yang dimilikinya dengan orang-orang terdekat yang terpenting. Selama kakaknya, ibunya, dan anak-anaknya masih percaya kepadanya, Rei tak peduli apa kata orang lain. Terserah Anya yang ingin membangun kenyataan berlapis di sekitarnya. Rei yakin, orang-orang terdekatnya, yang tahu persis bagaimana dirinya, akan masih tetap berada di pihaknya.

Apa yang dilakukan Anya membuatnya berpikir. Sampai kapan ia akan bertahan di samping seorang monster seperti Anya? Ternyata benar apa yang dikatakan dalam semua tayangan yang dilihatnya di Instagram juga di situs yang dibacanya. Seorang Nars tidak akan bisa sembuh. Dia akan kembali pada polanya. Hanya kepentingannya yang utama. Yang lain tidak penting.

Sementara, Anya tampil sempurna di media sosialnya. Mengesankan ibu yang baik, ibu yang sempurna, dan istri yang saleha. Berbagai kutipan dan tayangan agamis ditayangkan oleh Anya di story Instagramnya. Berbagai foto dan tingkah anak-anaknya dipasang dengan tambahan kata-kata manis layaknya seorang ibu yang mencintai anaknya sepenuh jiwa. Beberapa foto lama mereka berdua dipasang Anya di media sosial dengan takarir: bersamamu, mendampingimu dengan ikhlas.

Mereka semua yang tak tahu kisah di baliknya akan melihat tampilan Anya yang sempurna. Sosok Anya sebagai istri saleha di dunia maya akan membuat tampilannya sempurna. Pencitraan yang dilakukannya menjadi perisai untuk segala perbuatannya yang tak tampak.

Biarlah, batin Rei. Ia akan fokus pada dirinya dan anak-anak. Bila semua ini berlanjut, perpisahan bukan sesuatu yang tabu untuk dibicarakan.

***

Dua hari berselang, ketika Rei sedang sibuk dengan timnya untuk menentukan detail pada fasad bangunan milik Pak Hendra, ada sebuah pesan masuk ke ponselnya.


Papa sakit. Aku harus pulang ke Solo.


Rei membacanya sambil tercenung. Mungkin itu sebuah jeda yang dibutuhkan.


Ya. Berangkat aja. Aku gak bisa menemani.


Anak-anak gimana?

Lihat selengkapnya