Duri

Windy Effendy
Chapter #19

Takdir Datang Tiba-TIba

Aku akan melakukan segalanya untuk bisa tiba di Solo dengan segera. Tentu saja, dengan semurah mungkin. Mama sudah mengirim pesan berkali-kali. Memintaku pulang. Tak mungkin aku menundanya.

Menemukan status WhatsApp Mbak Ela adalah berkah untukku. Aku cukup sering bertukar pesan dengannya, dulu, saat baru pindah ke Surabaya. Beberapa kali kami sempat berjumpa dalam pertemuan keluarga Mas Rei. Kurasa, jika aku minta tolong untuk ikut serta dalam perjalanannya ke Yogyakarta, dia tidak akan menolak. Toh, Yogyakarta dan Solo tidaklah jauh.

Perjalanan berakhir sempurna. Aku bisa makan enak, tanpa perlu membayar, dan diantar ke rumah dengan baik. Memang Mbak Ela yang paling juara. Sepanjang perjalanan, aku mengisahkan kehidupanku dengan Mas Rei. Aku rasa Mbak Ela sudah jatuh simpati kepadaku. Dia begitu baik sepanjang perjalanan hingga sampai ke rumah Mama di Solo.

Sayangnya, situasi di rumah Solo tidak seperti yang kubayangkan. Kondisi Papa sudah sangat lemas. Aku memaksa untuk membawanya ke rumah sakit. Aku sudah menghubungi kakakku untuk patungan soal biaya rumah sakit Papa bila BPJS tidak menutup semuanya.

Yang paling berat bagiku adalah mengurus Mama yang selalu menangis dan meratapi nasib. Belum lagi hobi Mama yang selalu overthinking. Memikirkan hal-hal yang belum terjadi, membayangkan segala situasi terburuk yang diikuti dengan ketakutan, lalu memeras semua kecemasannya dalam satu wadah dan diakhiri dengan tangisan. Aku harus memberikan ribuan kata-kata kekuatan dan mengajak Mama untuk tetap istigfar apa pun yang terjadi.

Dan hari pun berlalu begitu cepat. Aku hanya sempat menghubung Arga sekali dua kali, sebelum sibuk dengan mengurus Papa di rumah sakit. Harus aku yang berjaga di awal-awal hari. Kakakku hanya bisa datang sebentar saja sebelum kembali lagi ke Sidoarjo mengurus keluarganya. Apa kabar aku?

Aku pun memaksanya untuk meminta izin pada suaminya.

“Luangkan waktumu. Ayolah. Aku sudah meluangkan waktuku di sini.”

“Aku coba bilang. Kalau tidak diizinkan, aku tidak bisa ke sana. Kamu tahu itu kan?”

“Setidaknya kamu berusaha dulu.”

Pembicaraan pun terhenti. Aku sudah malas mencoba mendesaknya untuk segera berkumpul dengan kami di Solo. Aku bisa sendiri, kalau memang dia tak bisa.

Tanpa kuduga, keesokan paginya Mbak Lya muncul di hadapan. Aku pun bernapas lega. Kami bisa bergantian menjaga Papa. Juga menjaga Mama. Satu di rumah sakit, satu di rumah menenangkan Mama. Aku dan kakakku sepakat untuk tidak meminta Mama sering-sering ke rumah sakit.

Namun, takdir berkata lain.

Kondisi Papa memburuk. Pagi kelima aku berada di Solo, ia menyerah. Aku tak mampu membantunya bertahan. Papa hanya bisa tersenyum padaku di saat-saat terakhirnya. Aku cuma bisa menangis dan merelakannya pergi. Hari masih pagi ketika Papa menutup mata. Air mataku berjatuhan tanpa henti. Sosok Papa telah membuatku menjadi perempuan tangguh. Kegigihannya, kesabarannya untuk terus berjuang, telah membekas dalam hatiku. Walau ia tak mampu menjadi ayah terbaik untukku, tak mampu memberikan hidup yang berkelimpahan, tetapi ia tetap ayahku. Berkat Papa, aku ada dan terus bertumbuh dengan segala luka dan kesedihan bersamanya.

Selanjutnya, aku harus menyiapkan Mama untuk bisa merelakan kepergian Papa. Aku harus segera memberi kabar kepada Mas Rei. Aku harus menyiapkan rumah. Hari itu juga, aku terbang mengurus semua detail pengurusan jenazah dan pemakaman.

Mas Rei dan ketiga anakku datang sekitar pukul sebelas. Pemakaman akan dilaksanakan selepas zuhur. Banyak tetangga dan sahabat serta saudara dari keluarga Papa yang sudah tiba. Aku berusaha menyiapkan rumah dengan sebaik-baiknya.

Mama yang berkata sangat kehilangan Papa, ternyata tidak melepaskan kedigdayaannya sebagai penguasa rumah. Mama tetap berusaha mengatur kami untuk menata rumah sesuai keinginannya. Mama mau kami tetap terlihat berjaya, bukan samsara. Aku berkasak kusuk dengan kakakku, sejauh mana kami bisa melangkah. Sejauh mana dompet kami berdua bisa bertahan. Tanpa kami duga, Mama memberi kami sejumlah uang untuk digunakan mengurus hari-hari pengajian. Harus sampai tujuh hari! Maklumat tak terbantahkan dari Mama telah diucapkan.

Suamiku dan anak-anak memilih untuk menginap di hotel terdekat. Rumah Mama yang tidak terlalu besar memang tidak memadai untuk menampung kami semua. Begitu pula suami dan anak-anak Mbak Lya. Aku mengatur jadwal tugas dan piket di rumah Mama dengan Mbak Lya. Sebisanya kami harus tetap beristirahat.

Sehari setelah pemakaman, aku meminta untuk istirahat di hotel sejenak. Mas Rei dan anak-anak menjemputku setelah sarapan pagi. Siang itu, aku menghabiskan waktu dengan tidur seharian. Banyaknya urusan membuatku tak punya waktu tidur yang penuh. Akhirnya, aku memiliki waktuku. Anak-anakku biarlah bersama Mas Rei.

***

Aku terbangun sesaat setelah waktu asar tiba. Aku tahu, setelah ini aku harus segera kembali ke rumah Mama. Namun, aku ingin sedikit mencuri waktu dan bersantai di hotel bersama anak-anakku dan Mas Rei.

Mas Rei duduk di sofa dekat jendela kamar. Kedua anakku sedang asyik bercanda dan bermain bersama di sudut ruangan, sementara Arga sedang membaca buku di ranjang yang lain.

“Pa,” ujarku memanggil Mas Rei.

Lelaki itu menoleh. “Ya?”

“Setelah ini aku ke rumah Mama lagi.”

Lihat selengkapnya