Tiga hari di Solo sudah cukup untuk Rei. Ia segera membawa anak-anaknya kembali ke Surabaya. Selain mereka harus sekolah, Rei juga tidak sanggup mendengarkan kebisingan keluarga Anya yang nyaris setiap saat bicara dengan suara keras. Seolah mereka sudah biasa bertengkar. Nada tinggi dan kata-kata buruk sudah sewajarnya terlempar dalam kehidupan mereka. Dan Rei tidak menyukai itu.
Rei tidak peduli berapa lama Anya akan tinggal di Solo. Ia merasa, rumahnya menjadi lebih damai. Sekaligus lebih ceria. Tawa anak-anak yang tak menjerit-jerit, celotehan-celotehan jenaka mereka yang muncul spontan saat bersama Rei, dan pelukan-pelukan hangat yang timbul seketika di antara mereka berempat. Rei tak bisa mengorek perasaan anak-anak lebih dalam, tetapi ia melihat anak-anaknya seakan lebih lepas tanpa ibunya di sekitar.
Dengan bantuan Mbak Mar, Rei menyisihkan waktu di hari Minggu untuk membenahi rumahnya. Anya memiliki beberapa kebiasaan buruk yang sangat dibencinya. Satu yang paling parah adalah menaruh barang sembarangan. Meskipun sudah diatur sedemikian rupa, seringnya Anya tidak mengembalikan barang pada tempatnya. Rei mengubah tatanan di rumahnya yang menurutnya akan memudahkan Anya mengambil dan menaruh kembali barang-barang itu. Seperti letak piring, sendok, gelas, panci, dan sebagainya. Termasuk benda-benda di rak hiasan dekat ruang tamu, diaturnya kembali.
Andra dan Aley bertepuk tangan melihat ruang bawah yang tampak rapi hingga ke dapur.
“Aley, Andra, kita jaga sama-sama biar terus rapi, ya?”
“Siap!” teriak keduanya sambil tertawa.
Arga yang lewat di ruangan itu juga tertawa ringan. “Ah, Papa yang bikin rapi ini?”
“Ya, dong.”
“Weh, keren.” Arga kemudian melakukan high five dengan Rei sambil terkekeh bersama.
Kebiasaan buruk Anya yang kedua adalah kegemarannya menumpuk piring kotor dalam tempat cuci piring. Tanpa memilah sampahnya. Semuanya masuk ke dalamnya tanpa dibereskan. Adalah tugas Mbak Mar untuk membereskan semua kekacauan di bak cuci piring itu.
Rei meminta maaf kepada Mbak Mar atas tindak tanduk Anya selama ini. Setelah itu, Rei meminta Mbak Mar untuk mengikuti instruksinya. Rei akan mencuci piring sebisanya saat Mbak Mar belum datang. Rei juga menekankan kepada ketiga anaknya untuk langsung mencuci piring selesai makan, sebisa mereka. Rei kemudian merapikan piring-piring kotor yang belum sempat tercuci saat selesai makan pagi atau makan malam, untuk dibereskan Mbak Mar keesokan harinya. Namun, Rei membuang semua sampahnya di tempat sampah hingga bersih. Kemudian, Rei memberi air kepada semua piring itu dan menumpuknya rapi. Gelas dan sendok juga ditumpuk dengan rapi. Dengan demikian, Mbak Mar akan bekerja lebih cepat dan mampu mengerjakan tugas yang lain dengan waktu yang lebih tertata.
Rumah pun terasa rapi, wangi, dan indah. Rei merasa nyaman berada di rumah, dan ingin segera pulang cepat. Rei nyaris melupakan ada Anya yang masih tertinggal di Solo. Bagi Rei, rumah itu sudah terasa cukup baginya untuk mereka berempat. Anak-anaknya juga tidak menimbulkan masalah.
Berangkat sekolah tertib pada waktunya. Tidak ada jeritan, pertengkaran, apalagi teriakan yang mengganggu di pagi hari. Rei merasa hidupnya damai dan tenteram.
***
Pukul enam sore, Rei sudah tiba kembali di rumah. Sengaja seluruh pekerjaannya di kantor diaturnya agar bisa selesai tepat waktu. Kalaupun harus lembur, Rei akan mengerjakannya di rumah.
Setelah Mbak Mar pamit pulang, Rei pun menyiapkan makan malam sederhana atau memanaskan masakan yang telah dibuat oleh Mbak Mar di siang harinya. Rei merasa heran, tugas-tugas sederhana seperti ini terasa begitu berat di tangan Anya. Ada saja hal-hal yang tidak selesai.
Malam itu, Rei menuntaskan waktunya bersama Andra dan Aley sambil belajar bersama. Setelah mereka berdua terlelap di kamar, Rei mengetuk pintu kamar Arga.
“Ga, sudah tidur?”
“Belum.” Terdengar suara Arga melangkah mendekati pintu kamar. Wajah anak sulungnya muncul di pintu yang kemudian terbuka. “Ada apa, Pa?”
“Enggak apa-apa. Ngobrol sebentar di studio kalau kamu enggak sibuk dengan tugas.”
“Oh, oke. Cuma baca buku pelajaran buat besok. Sudah selesai, kok.”
Rei pun turun dan menanti Arga di studionya. Sengaja ia memutar playlist Dream Theater yang sama-sama disukainya dengan Arga.
“Yuk, ngobrol!” kata Arga sambil menghempaskan tubuhnya di sofa bed yang sudah terbuka.
Rei terkekeh. “Kamu niat ngobrol atau tidur?”
Arga tertawa. “Kalau ketiduran, itu bonus.”
Anak sulungnya ini memang lucu. Kedekatan antara dua lelaki itu yang tidak dimiliki Anya dengan Arga. Walau demikian, Rei menghargai hubungan anak sulungnya dengan sang ibu yang sudah membesarkannya sejak lahir.
“Ga, ada yang ingin papa tanyakan.”