Duri

Windy Effendy
Chapter #21

Sirna Seutuhnya

Nyaris dua minggu Anya sudah berada di Solo. Rumah terasa damai dan tenteram tanpa kehadiran istrinya. Rei merasa mulai terbiasa dengan situasi itu. Anak-anaknya pun juara, tak ada yang mempertanyakan kehadiran ibunya dengan heboh. Rei bertanya-tanya, apakah anak-anaknya, terutama Andra dan Aley, sudah terbiasa ditinggalkan Anya seharian? Mereka tidak terlihat bingung atas ketidakhadiran ibunya. Mereka santai saja, menikmati hari-hari bersama Rei.

Kedua anak itu terlihat mandiri. Mereka bisa melakukan banyak hal yang tak perlu dibantu seperti merapikan kamar, tas, dan mainan. Satu dua kali Mbak Mar merapikan setiap kali melihat masih ada yang berantakan, tetapi bukanlah sesuatu yang terlalu penting. Aley dan Andra sudah tahu di mana harus meletakkan barang-barangnya sendiri. Rei jadi bingung, sebenarnya selama ini apa yang dicontohkan Anya kepada anak-anaknya? Rupanya, Anya membiarkan tanpa menegur anak-anaknya bila berantakan. Sementara, Rei mengajarkan dan menekankan kepada Aley dan Andra, juga Arga, tentang nikmatnya hidup dengan rapi. Dengan satu dua kali teguran bila mereka terlupa, seterusnya semuanya rapi dengan sendirinya.

Jadi, di mana sebenarnya letak masalahnya?

***

Tepat dua minggu setelah ayah Anya berpulang, Anya menelepon Rei. Hari itu adalah sebuah Kamis yang sangat penting untuk Rei karena harus melakukan presentasi di perusahaan Pak Hendra.

Selepas makan siang, dalam perjalanan menuju kantor Pak Hendra, telepon Rei berdering berkali-kali. Nama Anya tertulis di sana. Rei tidak ingin mood-nya ambyar sebelum presentasi dimulai.

Nanti saja. Setelah jam empat kutelepon. Aku ada presentasi penting hari ini.

Tanpa menunggu Anya membalas, Rei memasang ponselnya dalam mode senyap. Saat itu presentasinya lebih penting dari urusan apa pun.

Selepas presentasi, Rei masih harus beramah tamah dengan Pak Hendra dan timnya. Cukup lama, hingga nyaris pukul lima. Selain sudah cocok dalam urusan pekerjaan, Rei dan Pak Hendra memiliki hobi yang sama: bermain game. Oase untuk mereka yang sibuk dan masih menyukai tantangan. Perbincangan tak lepas dari beraneka jenis game yang telah ditaklukkan Rei dan Pak Hendra, hingga membahas makanan kesukaan. Demi proyek besar ini, Rei harus siap meladeni apa yang diinginkan Pak Hendra.

Namun, tak urung ia harus pamit juga. Setengah enam lebih, Rei baru tiba di kantornya di Jalan Kartini. Perjalanan dari kantor Pak Hendra di daerah Dharmawangsa terasa lama karena Rei ingin segera pulang. Segera setelah membereskan ruangannya, Rei bergegas menuju memacu mobil untuk pulang ke rumahnya di kawasan Surabaya Barat.

Sesampainya di rumah sudah pukul setengah tujuh lebih. Untungnya, Mbak Mar masih mau menemani kedua anaknya dan telah menyiapkan makan malam. Andra dan Aley sudah rapi dan siap belajar. Bergegas Rei menyegarkan diri untuk setelahnya menemani kedua anaknya belajar. Arga baru datang setengah jam kemudian karena harus les terlebih dulu.

Hari itu terasa begitu sibuk. Dan baru saat itu Rei tersadar, ia belum menghubungi Anya. Sudah pukul sembilan lebih, entah apakah Anya masih terjaga. Rei pun mencoba mengirim pesan.

Sori baru nyalain HP lagi. Tadi mau bicara apa?

Sambil menunggu balasan dari Anya, Rei pun iseng membuka Instagram. Sekilas, ia melihat ada nama Anya di story yang berpendar. Masih meneruskan keisengannya, ia membuka story milik istrinya.

Ternyata masih saja sama. Anya menampilkan dirinya bersama teman-temannya, bergaya dengan narsis, dan menikmati hidangan mewah bersama. Beberapa foto di feed-nya menampilkan hal yang sama. Ada juga beberapa foto bersama Mama dan kakaknya. Foto-foto makam ayahnya.

Buat Rei, ada beberapa foto yang termasuk jenis tak perlu ditampilkan. Cukup untuk konsumsi pribadi. Namun, itu mungkin pembuktian bagi Anya bahwa dirinya ada.

Rei menuju ke pesan pribadi di Instagram miliknya sendiri. Rasanya sudah lama sekali ia tak pernah membuka DM. Seketika Rei terpaku. Ada beberapa kiriman pesan dari sejumlah sahabatnya. Semuanya mengirimkan beberapa tangkapan layar. Ada yang sama, ada yang tidak.

Rei membukanya satu per satu. Isinya nyaris sama. Semua bertanya kepadanya: apakah itu benar?

Lihat selengkapnya