Tiga minggu berada di Solo memiliki dua sisi untukku. Aku bebas dari situasi rumah yang menyebalkan, tetapi aku juga harus siap mendengarkan seluruh keluh kesah Mama setiap hari. Nyaris setiap hari Mama menangis, menyesali kepergian Papa, dan meratapi hidupnya yang kini sendiri.
Cukup sudah, aku harus kembali ke Surabaya untuk mengurus hidupku dulu. Aku meminta pertimbangan Mbak Lya. Aku bilang, bagaimana bila sementara waktu Mama tinggal di rumahnya, di Sidoarjo. Rumah Mama di Solo pun adalah rumah kontrak yang setiap lima tahun dibantu Mas Rei untuk memperpanjang. Kontrak tidak akan diperpanjang. Barang-barang milik Mama pun kulego dengan harga minimal agar tidak perlu dibawa pindah. Aku hanya membereskan barang pribadi Mama dalam tiga koper, tanpa barang lain yang tak berguna. Uang penjualan benda-benda yang nyaris seperti rongsokan itu pun bisa kuberikan kepada Mama untuk pegangan. Tidak banyak, setidaknya cukup untuk keperluan pribadi Mama.
Ke depannya, kami akan membicarakannya lebih lanjut. Mungkin aku dan Mbak Lya bisa bergantian menerima Mama. Hanya saja, aku membutuhkan waktu untuk berpikir dan bicara dengan Mas Rei.
Untungnya, Mbak Lya dan suaminya bersedia menampung Mama untuk sementara. Lagi pula jarak Surabaya—Sidoarjo tidaklah jauh, aku bisa mengunjungi Mama kapan saja. Yang aku butuhkan saat ini adalah membereskan urusanku dengan Mas Rei yang tampaknya semakin kusut. Satu lagi yang paling utama: kantongku sudah kering. Aku harus mencari lagi sumber kehidupan dan mengisinya penuh-penuh.
Aku pun mempersiapkan tiket perjalanan ke Surabaya sekaligus rencana mengantar Mama ke rumah Mbak Lya di Sidoarjo. Aku lega karena ada beberapa komisiku dari hasil menyewakan rumah pun keluar. Aku masih bisa mengatur perjalanan yang cukup nyaman untuk Mama dengan menggunakan kereta.
Hampir pukul sepuluh malam ketika aku tiba di rumah. Anak-anak sudah tidur. Hanya Mas Rei yang membukakan pintu untukku, membantu memasukkan barang bawaanku, lalu meninggalkanku di ruang tamu begitu saja.
Aku pun nyaris tak peduli karena juga sangat kelelahan. Banyak yang harus kubereskan termasuk cucian kotor. Namun, tak ada tenagaku untuk melakukannya malam ini. Ulu hatiku terasa sedikit nyeri ketika aku menaiki tangga untuk menuju kamar tidurku.
Tiada kusangka, keesokan paginya perutku sangat sakit. Aku meminta tolong kepada Mas Rei untuk mengantarkan aku ke rumah sakit. Sepertinya aku butuh istirahat. Dilayani di ranjang rumah sakit tentu akan membuatku lebih segar setelah tiga minggu lebih disiksa jiwa dan ragaku di Solo.
Tumpukan kelelahanku ternyata mencapai puncaknya. Dokter mengatakan aku positif tifus. Aku harus beristirahat total di ranjang selama kurang lebih dua minggu. Nyaris saja aku bersorak kegirangan. Kini waktunya aku diladeni, tidak melulu meladeni orang lain seperti yang baru-baru ini kulakukan.
“Kamu tidak perlu opname,” kata Mas Rei kepadaku.
“Dokternya suruh aku opname, tuh.” Menyebalkan sekali. Pasti ia tak mau mengeluarkan uang untuk membayar biaya rumah sakit.
“Soal uang tidak ada masalah,” katanya seolah tahu apa isi pikiranku. “Tapi kamu memang cukup istirahat di rumah. Kalau biaya rumah sakit pasti sudah di-cover asuransi, tidak perlu bingung. Cuman kan lebih enak di rumah, tetap dekat sama anak-anak. Tidak perlu repot-repot ke rumah sakit. Di rumah asal makan minum dijaga, istirahat, dan obat diminum, kamu akan cepat sembuh.”
“Enggak mau. Dokternya bilang aku disuruh opname.” Aku tetap bersikukuh untuk mematuhi anjuran dokter.
“Kalau kamu di rumah sakit, siapa yang mau menunggui? Aku sibuk dengan pekerjaan dan anak-anak. Jangan sampai anak-anak yang menunggui kamu. Malah pada ikut sakit semua nanti.”
“Oh, jadi memang enggak mau menunggui masalahnya? Ya, sudah. Enggak apa-apa aku di rumah sakit sendiri. Tidak usah memikirkan aku.”
“Gayamu bilang ndak usah mikir kamu. Yang ada sebentar lagi kamu caper di Instagram pasang foto infus!”
“Suka-suka aku!”
“Kamu ini dibilangin malah marah. Sakit itu istirahat, bukan posting foto-foto. Itu namanya caper!”
“Terserah aku!” Aku melengos.
Saat itu kami masih berada di rumah sakit. Selesai periksa di poliklinik Rumah Sakit MS Surabaya, kami masih duduk di ruang tunggu untuk menunggu obat selesai dibuat. Dokter yang menyarankan untuk opname sudah memberikan surat rujukan bila kami ingin segera memproses pendaftaran masuk rumah sakit. Namun, Mas Rei masih ngotot untuk tidak membiarkan aku opname. Ternyata alasannya hanya karena tak mau menunggui aku. Baiklah, aku bisa sendiri.