Duri

Windy Effendy
Chapter #23

Melepaskan Duri

Anya memang sungguh tidak tahu diri, batin Rei. Meskipun pengobatannya di rumah sakit ditanggung asuransi, masih saja ada selisih dari total biaya. Itu karena Anya memilih kelas yang berbeda dengan yang ditanggung. Rei yang harus membayar selisihnya, dan jumlahnya cukup besar.

Seminggu lebih Anya berada di rumah sakit. Rei sengaja tidak datang ke sana karena lebih memilih untuk menjaga Andra dan Aley di rumah. Rei mewakilkan kehadirannya kepada Arga yang datang ke rumah sakit setiap malam meski hanya sebentar. Baju kotor Anya harus diambil, baju bersih harus dikirim, dan berbagai hal kecil-kecil yang diminta untuk disertakan dalam kiriman setiap hari ke rumah sakit.

Rei meminta Mbak Mar bersabar lagi untuk meluangkan ekstra waktu. Rei tak ambil pusing. Ia memilih untuk memberikan uang lebih kepada Mbak Mar asalkan perempuan itu mau menantinya pulang kantor setiap malam untuk bergantian menjaga Andra dan Aley. Rei juga sudah mengatur langganan antar jemput untuk kedua anaknya yang kecil bila Arga atau Mbak Mar tak bisa menjemput. Hal itu sudah dilakukannya sejak Anya masih berada di Solo. Tambah seminggu lagi, bukanlah masalah.

Untungya pekerjaan di kantor juga masih bisa diatur. Dengan piawai, Asana dan Hera mampu membuatnya selalu pulang ontime setiap hari. Rei meminta maaf kepada timnya karena tidak bisa menemani lembur di kantor bila memang ada pekerjaan yang belum selesai. Rei berjanji untuk tetap online dan siap ditelepon kapan saja, meskipun di malam hari. Rei juga menyalakan laptopnya dan ikut bekerja lembur dari rumah.

Akhirnya, anak-anak pun terbiasa tanpa kehadiran ibunya. Sekali dua, Andra masih menanyakan Anya. Namun, selepas itu mereka pun sibuk sendiri dengan kegiatannya. Rei juga mampu mengisi kekekosongan ruang yang ditinggalkan Anya selama di Solo dan rumah sakit. Perlahan-lahan, Rei membuat anak-anaknya mandiri dan tidak bergantung pada ibunya.

Sepulang Anya dari rumah sakit, rumah terasa berbeda. Rei melihat bahwa Anya seakan ingin mengatur kembali tatanan yang sudah dibuatnya selama itu. Rei diam saja dan terus mengawasi istrinya. Ternyata benar, beberapa kali sepulang kantor, Rei melihat posisi beberapa benda di lemari kaca sudah berubah. Juga posisi piring, gelas, dan sendok. Rei mengembalikannya seperti semula, tetapi ternyata tak lama sudah berubah lagi.

Tidak hanya hal kecil seperti itu. Jeritan dan teriakan kembali hadir di rumahnya setelah sebulan lebih rumah itu damai dan tenteram. Bentakan-bentakan Anya untuk anaknya kembali muncul. Teriakan anak-anaknya karena dibentak Anya terbit kembali. Anak-anaknya kembali gelisah, tidak ceria seperti saat Anya masih di Solo. Rei kehilangan lagi ketenangan yang telah diciptakannya.

Rei merasa lelah. Hidupnya seakan seperti menelan duri. Ada sesuatu yang mengganggu, tetapi sulit sekali dilepaskan. Bagaimana ia bisa meninggalkan Anya, ibu dari anak-anaknya. Namun, bila tak ditinggalkan, ia akan terjebak dalam dunia yang kusut dan tak memiliki jalan keluar. Jauh di lubuk hati Rei merasa takut, jangan-jangan masih ada utang yang disembunyikan Anya. Rei sangat mengkhawatirkan kehidupan anak-anaknya nanti bila dirongrong ibunya dengan kebiasaan seperti itu. Anya adalah copycat ibunya sendiri, dan ibu dari Anya itu memang memiliki tingkah yang sama. Gali lubang tutup lubang, memanipulasi, dan menciptakan dunia sendiri. Rei yang berkali-kali berusaha untuk tidak bersinggungan dengan keluarga Anya, tetap saja kena getahnya beberapa kali.

Apalagi kini Mama tinggal di Sidoarjo dengan kakak Anya. Kota yang hanya berjarak satu jam dari tempat tinggal Rei di Surabaya Barat. Rei yakin, selama ia pergi ke kantor, ada kemungkinan ibu Anya datang ke rumah dan pulang sebelum ia kembali dari kantor.

Setiap kali Rei pulang kantor, rumahnya memang terasa seperti biasa. Tak ada tamu, tak ada orang lain di rumah. Namun, Rei mampu melihat jejak kehadiran ibu Anya di sana sini. Ada barang-barang yang sengaja ditinggalkan. Rei melihat ada beberapa baju yang bukan milik Anya, ada satu dua gelas piring yang bukan milik mereka. Rei mencium gelagat buruk.

Yang paling membuktikan hal itu adalah lenyapnya beberapa makanan kesukaannya seperti dendeng rusa mahal yang sengaja dibelinya karena dia sangat suka, keripik kentang buatan ibu Rei, madu botolan yang baru saja dibelinya untuk vitamin tambahan, semua lenyap. Ketika Anya ditanya, jawabanya seperti biasa: tidak tahu.

Dulu, ketika Mama Anya berada di Solo, sudah sering terjadi hal seperti itu. Rei bisa tahu karea pernah beberapa kali Arga memergoki ibunya sedang mengepak aneka bahan makanan yang seharusnya jadi persediaan di rumah mereka. Arga membantu mamanya dan melihat nama penerima di kardus. Nama eyangnya. Arga sempat heran dan bertanya kepada mamanya mengapa semua itu dikirimkan. Jawaban Anya sangat singkat: di sini sudah banyak. Arga juga yang menceritakan hal itu kepada Rei saat Anya sedang di Solo.

Yang paling Rei takutkan, selama ini anak-anaknya dididik untuk melampaui batasan etika sesederhana seperti itu. Berbohong, tidak meminta izin walau itu hal kecil, tidak menganggap batasan pada sesuatu milik orang lain, menganggap gampang masalah. Rei sangat takut Anya mengajarkan semua itu tanpa sadar. Untuk seseorang seperti Anya, ia tak akan bisa melihat di mana letak kesalahannya. Menganggapnya semua wajar saja.

Rei menanti waktu yang tepat untuk bicara sekali lagi dengan Anya. Walau sebenarnya ia merasa percuma, tetapi sudah selayaknya ia mencoba.

Tiba saatnya untuk melepaskan duri yang selama ini bercokol dalam kehidupan Rei. Ia akan memberikan pilihan kepada Anya. Rei sedang mencari waktu yang paling pas untuk mengungkap keputusannya kepada istrinya.

***

Ternyata waktu yang tepat itu datang dengan sendirinya.

Lihat selengkapnya