“Maksudmu apa?”
“Aku capek, Anya. Banyak sekali yang harus aku perbaiki akibat tingkahmu. Di saat aku harus mengurus di pekerjaanku, anak-anak masih harus dibimbing, kamu membuat ulah di sana-sini. Kamu dulu bilang mau berubah, tapi mana? Aku lelah harus memaklumimu terus-menerus!”
“Aku yang memaklumimu terus-terusan! Kamu tidak pernah ada untuk aku dan anak-anak!”
“Buka matamu, Anya! Kamu yang selama ini terlalu sibuk dengan urusan mamamu, urusan teman-temanmu, dan kamu tidak mengurus rumah pada akhirnya. Kamu bentak-bentak anakmu, kamu abaikan aku. Di saat aku butuh kamu dukung, kamu tak peduli sama sekali. Mana pernah kamu bertanya kabarku dari kantor? Kamu langsung semburkan kata-kata keluhan tentang anak-anak dan kehidupanmu sendiri hari itu. Aku lelah, kamu tahu itu? Kamu tidak bisa menempatkan dirimu kapan menjadi ibu, istri, dan teman!”
Anya terdiam mendengar kata-kata Rei.
Merasa ada kesempatan untuk bicara, Rei melanjutkan. “Kamu pikir hidup ini hanya soal uang? Sedemikian mudahnya kamu berutang di sana-sini, sementara uang dariku kau gunakan untuk keperluan lain. Keperluan apa itu aku pun tak pernah tahu. Tapi bila itu untuk urusan keluargamu, baiklah. Sudah sampai di sini saja! Kamu urusin keluargamu, dan aku yang akan mengurusi anak-anak. Jangan berdalih dengan menggunakan Mama, tetapi kamu menginjak-injak harga diriku sebagai suamimu! Aku sudah cukup malu dengan semua tagihan itu! Sampai Ardian pun kirim pesan padaku! Kamu tahu jalinan persahabatanku dengan Ardian? Terlalu berharga kalau harus dihancurkan oleh urusan uang! Kamu memang tak tahu kapan harus mengambil batas!”
“Aku hanya berusaha sebisaku! Kamu tidak pernah kasih uang padaku!”
“Anya! Kamu memberikan anggaran padaku tiap awal bulan, kan? Aku langsung memberikannya kepadamu! Lalu kenapa masih saja ada tagihan SPP anak-anak, tagihan cicilan televisi? Ke mana uang yang kuberikan kepadamu? Habis untuk urusan mamamu? Kamu diberi amanah seperti itu pun tak bisa!”
“Jangan bawa-bawa Mama!”
“Oke! Aku tidak akan bawa-bawa Mama. Kalau perlu, kamu pergi saja dari rumah ini! Urusi saja ibumu dan keluargamu! Jangan melibatkan urusan rumah ini dengan urusan ibumu!”
“Mas! Kamu ngusir aku?”
“Aku menyarankan kamu meninggalkan rumah ini. Aku tidak mau melibatkan urusan anak-anak dan hidupku denganmu!”
“Anak-anak bagaimana? Siapa yang akan mengurus mereka?”
“Ya, akulah. Siapa lagi!”
“Mas, tu—tunggu dulu. Tunggu. Bi—biarkan aku tetap di sini. Aku akan mematuhimu …,” ujar Anya sambil menahan tangis.
Rei terdiam sangat lama. Ia merasa sudah mencapai titik ambang kehidupannya. Ia harus mengambil pilihan. Tenggelam dalam kegelapan bersama Anya, atau mendayung biduknya sendiri. Menjauh dan pergi, meninggalkan Anya dan segala kericuhan dalam kepala perempuan itu.
“Sampai kapan kamu mau begitu?” tanya Rei lirih. Tenaganya sudah habis terkuras.
Anya yang berlinang air mata di depannya pun tiba-tiba mengubah duduknya. “Aku masih sayang kamu, Mas. Sayang anak-anak. Biarkan aku menemani anak-anak. Aku akan menjaga mereka. Biarkan aku di sini.”