Duri

Windy Effendy
Chapter #25

Aku Memilih Menanti

Ini situasi yang sangat menyiksaku. Mas Rei telah memberi ultimatum yang menyesakkan. Tidur di tempat yang berbeda mungkin menjadi solusi baginya. Bagiku, terasa memuakkan melihat wajahnya setiap pagi di rumah.

Aku harus bisa menampilkan diriku yang penuh cinta kasih kepada anak-anak dan suamiku. Siapa tahu dengan usahaku mengganti tampilan luar, Mas Rei akan menjadi luluh dan mau menerimaku kembali. Jujur saja, aku merasa mual setiap kali harus tersenyum kepadanya dan bersikap manis kepada anak-anak. Ingin rasanya aku menghempaskan tubuhnya ke dinding dan menekan satu titik di lehernya dengan ujung pisau tertajam yang bisa kutemukan di rumah ini. Perlakuan yang membuatku terhina ini tidak bisa dibiarkan.

Namun, aku harus bersabar. Aku pasti bisa. Enam bulan tidaklah lama. Aku tinggal bersikap manis dan lembut setiap pagi, dan saat anak-anak pulang sekolah. Dikiranya aku tidak tahu, Mbak Mar sudah dijerat dengan iming-iming uang oleh Mas Rei. Perempuan laknat itu melaporkan semua yang kulakukan kepada suamiku.

Tadinya kukira semuanya baik-baik saja. Aku tetap bisa keluar rumah dengan mudah. Setelah aku keluar rumah dan mengurus pekerjaanku hingga waktu menjemput anak-anak tiba, sebuah pesan dari suamiku masuk. Katanya, itu peringatan pertama karena tidak mematuhinya untuk tetap di rumah saja. Ketika aku berkilah akan menjemput anak-anak, dia bilang urusan kepulangan anak-anak sudah beres. Dia sudah mengatur langganan jemputan setiap kali Andra dan Aley pulang sekolah, termasuk mengantar dan menjemput mereka les.

Sialan! Untuk orang yang tak dikenal saja dia mau mengeluarkan uang lebih. Dia tidak percaya kepadaku yang notabene adalah ibu anak-anak dan membiarkan aku menjemput mereka. Aku ingin rasanya mencakar wajahnya ketika aku berjumpa dengannya malam itu. Namun, aku tahu. Bila aku tak bersabar, aku sendiri yang akan terjerumus dalam jurang.

Aku meminta maaf kepada Mama karena tak bisa mengunjungi sesering yang aku mau. Sempat kuceritakan sekilas bahwa untuk sementara waktu, aku harus tinggal di rumah dulu untuk mengatur dan menata rumah. Aku tak menceritakan persoalanku dengan Mas Rei, tadinya. Namun, ketika Mama berkeras untuk datang ke rumah, aku terpaksa harus berkata jujur bahwa untuk sementara waktu Mama tidak perlu datang dulu. Itu akan membuat situasi lebih runyam.

Mama sempat marah dan meneleponku berjam-jam. Mama bilang akan menelepon Mas Rei, tetapi aku melarangnya. Saat itu, Mama berkata bahwa bila aku tak lagi dihargai, mungkin aku harus meminta ketegasan. Bila perlu, aku bisa menuntut Mas Rei dalam urusan gono-gini untuk mendapatkan kekayaannya dalam jumlah yang lebih besar. Rumah ini, mobil yang biasa kugunakan, harusnya bisa kumiliki. Begitu kata Mama.

Aku meminta Mama untuk bersabar. Enam bulan tak lama, aku akan berusaha memperbaiki keadaan terlebih dulu. Siapa tahu dengan demikian, aku akan mendapatkan lebih besar dari sekadar pembagian harta perolehan selama menikah. Mama akhirnya luluh dan menerima keadaanku. Mama berpesan untuk terus berjuang dan berusaha mendapatkan apa yang telah menjadi hakku.

***

“Anya, coba kamu hubungi seseorang. Mama kirimkan nama dan nomor teleponnya di chat, ya,” kata Mama.

Saat itu aku sedang berkeluh kesah kepada Mama atas betapa bosannya aku di rumah setiap hari tak boleh keluar rumah tanpa seizin Mas Rei.

“Siapa itu, Ma?” tanyaku setelah melihat nama orang yang dikirim oleh Mama.

“Ini orang pintar. Dia akan membantumu menyelesaikan masalah. Kamu tinggal cerita lewat chat, nanti dia akan membantumu. Dia teman Mama, tidak ada biaya. Nanti kalau berlanjut dan ada masalah lebih besar yang membuat dia harus kerja lebih keras, baru dia meminta bayaran.”

Hm. Cukup menarik. Rasanya aku bisa menggunakan cara ini untuk membolak-balik hati Mas Rei.

“Tapi bukan yang mistis, kan, Ma?”

“Enggaklah. Dia bisa melihat situasi, itu saja. Dia akan memberi cara atau saran untuk membuat situasi yang kamu hadapi itu menjadi lebih mudah.”

“Baiklah, Ma. Akan kucoba.”

Lihat selengkapnya