Sudah cukup. Tak perlu menunda lagi.
Telah tiba saatnya untuk menyelesaikan semua urusannya dengan Anya.
Seusai pertengkaran malam itu, Rei memilih untuk langsung masuk studionya. Semalaman, Rei mencari tahu proses pengajuan perceraian. Dokumen apa saja yang harus disiapkan dan apa saja yang harus dilakukan.
Pagi harinya, Rei memilih diam seribu bahasa. Jarak yang ia ciptakan semakin terentang panjang. Rei hanya fokus pada anak-anak di pagi itu. Dia mengajak semua anaknya berangkat lebih pagi. Dia berniat untuk segera kembali pulang setelah mengantar anak-anaknya. Rei telah menghubungi Hera dan mengatakan hari itu dia mengambil cuti setengah hari. Bila ternyata waktunya tak sampai, Hera harus membantunya untuk mengurus cuti dadakan.
Pukul delapan pagi, Rei sudah tiba kembali di rumah. Mbak Mar ternyata sudah ada di rumah.
“Ibu di mana, Mbak?”
“Di kamar kayaknya, Pak.”
Rei menuju kamar tidur utama di atas. Di sana, Anya sedang termangu di depan jendela dengan satu koper terbuka di lantai, isinya terlihat sangat berantakan.
“Kamu sedang apa?”
Anya tersentak dan melihat ke arah Rei. “Aku … mau beres-beres barangku.”
“Bereskan. Aku antar kamu ke rumah Mbak Lya. Sekaligus aku pamit pada Mama.”
“Mas … tidak bisakah aku minta satu kesempatan lagi?”
Rei yang sudah akan beranjak dari kamar itu pun berbalik. Lama ditatapnya Anya. “Kamu tahu definisi capek?”
Terdengar suara pesan masuk di ponsel Rei. Rei menatap layar di tangannya lama, lalu menoleh perlahan ke arah Anya. “Dengarkan. Ada yang mau datang menagih utangmu ke rumah ini. Kamu mau menemui mereka? Aku akan membalas saat ini juga bahwa utangmu bukan urusanku dan kamu sudah tidak tinggal di sini. Kamu mau aku memberi mereka alamat rumah Mbak Lya?”
“Jangan! Jangan, Mas. Tidak bisakah kamu membantu membayarkan utangku itu?”
“Kamu sudah gila! Cepat bereskan barangmu sebelum mereka datang. Kamu harus memikirkan sendiri cara membayar semua itu. Aku akan membantu menjawab dan menunda mereka, tetapi jangan harap aku mau membantu di urusan utangmu itu.”
Rei berbalik dan meninggalkan Anya yang menangis. Kali ini, Rei melihat Anya sangat panik sambil terus tersedu. Setitik rasa iba terbit di hatinya. Namun, kali ini ia harus memberi Anya pelajaran.
Segera saja dibalasnya pesan yang masuk. Rei menuliskan bahwa Anya sudah tak lagi berada di rumah itu. Rei akan membayar separuh dari utang Anya, tetapi sisanya harus diminta langsung kepada Anya. Rei berjanji akan membantu bicara dengan Anya setelah itu. Untung saja, teman Anya yang menghubungi Rei mau menerima hal itu.
Beberapa hari sebelum itu, Rei sudah membereskan tunggakan SPP anak-anaknya dan semua cicilan yang tertunda. Termasuk urusan dengan Ardian. Rei sengaja tak memberitahukan hal itu kepada Anya. Sebagai antisipasi, Rei mengatakan pada semua orang yang berhubungan dengan urusan itu bahwa nomor Anya tidak bisa dihubungi lagi, dan semua urusan keuangan baik itu cicilan atau uang sekolah anak-anaknya akan ditangani olehnya.