Aku termenung, menatap keluar dinding kaca apartementku sambil sesekali menyeruput teh hangat yang ada di tangaku. Aku menutup mataku, menarik nafas panjang, mencoba menjernihkan pikiranku.
"Sejak kapan kau mulai bermimpi lagi?"
Suara Ezra membuyarkan konsentrasiku, aku menatapnya sekilas lalu kembali menatap keluar kaca.
"Sekitar seminggu lalu mungkin"
"Kau tidak berniat memberitahuku?"
"Aku dengar kau sibuk liburan lagi pula aku bisa mengatasinya sendiri"
"Dengan minum obat penenangmu lebih dari dosis yang kuberikan!?"
Aku mengalihkan pandanganku sejenak, menatap wajahnya yang terlihat merah padam - aku rasa dia menahan amarahnya -, membuatku tersenyum miring.
"Tidak sebanyak itu, jangan berlebihan dosis segitu tidak akan membunuhku"
Aku melipat tanganku di depan dada sambil memandang remeh Ezra.
"Tapi cukup untuk membuatmu sakit"
"Tenang saja lagi pula aku tidak berniat hidup lebih lama, sudah 36 tahun hidup aku hidup, rasanya sudah cukup untukku."
"Astaga jangan seperti itu, aku masih butuh kau disini. Hanya kau yang ku punya, lagi pula aku sudah berjanji pada seseorang untuk terus menjagamu tetap bernyawa"
"Siapa? Papa atau Ibumu? Sudah cukup aku menderita begini, kau tidak pernah tau rasanya di hantui masa lalu selama 18 tahun, 18 tahun! Kau tidak cukup hebat seperti yang orang -orang bilang, kau tidak mampu menyembuhkanku!"
"LILY!"
"Itu faktanya kan? Kau bisa menyembuhkan semua pasienmu,kecuali aku. Terasa sedikit ironis bagiku"
Aku menatap lurus ke dalam mata coklatnya yang terus menatapku tajam,tangan kanannya ia genggam erat mencoba menahan emosinya di depanku, beberapa kali menarik nafas sebelum akhinya ia bicara lagi.
"Kita akhiri sampai disini, semua ini tidak ada habisnya." Katanya
Terdengan suara roti yang sudah matang dari toaster, Ezra bangkit lalu berjalan menuju toaster mengambil 2 potong roti dan mengoleskanya dengan selai strawberry, lalu berjalan kembali ke hadapanku, menghidangkan roti itu sebelum ia duduk kembali.
"Makanlah, itu bisa membuatmu lebih baik"
Aku mengambil roti itu, merobeknya dengan kedua tanganku lalu memasukkannya ke dalam mulutku.
"Apa kau tidak penasaran kemana aku pergi minggu lalu?"
Aku menatapnya,lalu mengedikkan bahuku tanda tak peduli.
"Aku pulang. Ada paket yang ku tinggalkan disana"
"Kau tinggalkan selama 18 tahun? Bagaimana caranya kau masih mengingatnya"
Dia menatapku dengan aneh lalu tersenyum manis.