Blurb
"Aku tidak bahagia, sungguh." Begitu pengakuan Yumi ketika aku terus memaksanya menjelaskan keadaannya. "Pernikahanku tidak bahagia, Alice."
Aku tertegun, kedua mataku menatapnya tajam. Berharap telinga ini salah dengar.
"Ada apa Yumi? Jelaskan padaku. Ceritakan apa yang sebenarnya terjadi." Aku kembali memaksa.
Tidak ada tanggapan darinya, kepalanya tertunduk ke bawah, mulutnya tertutup rapat.
"Max selingkuh?" tebakku.
Yumi menggeleng.
"Kalian berdua bangkrut? Perusahaan Max pailit?" tebakku lagi.
"Bukan. Perusahaannya justru semakin maju dan berkembang pesat." Jawabnya.
"Lalu kenapa? Kamu curiga ada perempuan lain?"
"Tidak, Alice. Max bukan tipe pria yang berselingkuh. Kamu tau kan betapa kikuk dan keras kepalanya dia?" timpal Yumi.
"Max mengaku sudah tidak mencintaimu lagi?" tanyaku.
Yumi menggeleng lagi.
"Lalu apa? Kalau perusahaan lancar, Max tidak selingkuh dan tidak ada tanda-tanda selingkuh, dia juga masih mencintaimu, berarti semuanya oke kan? Lalu mengapa kamu tidak bahagia?"
Yumi tetap membisu, tatapannya lirih, seperti kehilangan harapan dan semangat.
"Max ataupun keluarganya mempermasalahkan kalian yang masih belum memiliki anak?" tanyaku lagi.
Yumi terdiam.
"Pasti itu alasannya." Aku mengambil keputusan cepat. Astaga, jahat sekali mereka semua menekan Yumi sampai seperti ini hanya karena dia belum juga mengandung. "Apakah kodrat setiap perempuan adalah menikah kemudian harus langsung punya anak? Tidak seperti itu. Aku tidak setuju. Aku akan bicara dengan Max."
Yumi memegang tanganku. "Jangan ganggu Max. Justru dia yang terus membelaku di depan semua orang setiap kali mereka menanyakan masalah ini."
"Tenang Yumi, kamu jangan patah semangat dulu. Ingat, Max masih mencintaimu kan? Dan kuyakin cinta Max masih tulus terhadapmu."
Aku menggenggam kepalan tangannya yang sedari tadi disandarkan diatas kedua punggung tanganku.
"Justru karena Max terlalu mencintaiku, rasanya seperti terbelenggu. Aku tidak bahagia." Itu penjelasan terakhir dari Yumi.