Rumah tangga Yumi tidak bahagia.
Itulah kesimpulanku setelah hampir 5 tahun tidak bertemu, seusai dia menggelar pesta pernikahan dengan suaminya. Pada saat itu aku senang sekali bahwa akhirnya Yumi bisa menemukan kebahagiaan, menikahi pria mapan dan tampan serta berwibawa. Apalagi suaminya termasuk pria yang kaku dan kurang bersimpati, sehingga menurutku tidak mungkin hati Yumi akan dihancurkan dengan perselingkuhan. Tapi ternyata argumenku salah.
Angin berhembus cukup sejuk sore itu, sinar mentari sudah tak seterik siang tadi. Beberapa lembar daun menari tersapu angin, termasuk debu jalanan yang menurutku semakin hari semakin semakin merusak paru-paru masyarakat perkotaan. Entah bagaimana kinerja pemerintah menanggapi masalah polusi ini, mereka seperti masih setengah hati menangani rumitnya permasalahan di ibukota.
Untungnya jalanan tidak terlalu padat hari ini, begitu turun dari busway aku memutuskan untuk berjalan kaki menuju café tempat kami berdua janjian. Sebenarnya aku tinggal di daerah selatan, tapi karena Yumi telah dibawa suaminya tinggal di rumah di daerah utara, serta mempertimbangkan permintaan Yumi agar lokasi pertemuan sebisa mungkin dekat dari rumahnya, yah kupikir tidak ada salahnya juga. Toh, meskipun baru busway yang benar-benar terintegrasi, aku sudah cukup berterimakasih kepada pemerintah, bahwa setidaknya ada satu hal yang bisa kami banggakan dari ibukota ini.
Ternyata lokasi café berada lumayan jauh dari halte busway, yang mana jika menurut aplikasi penunjuk arah aku hanya perlu berjalan sekitar 15 menit, nyatanya hampir setengah jam sudah kaki ini melangkah diantara semerawut dan berantakannya trotoar di ibukota tercinta ini. Akhirnya, aku menemukan café itu. Lokasinya agak tersembunyi di ujung jalan, desain luarnya sendiri tidak terlalu mencolok. Sepertinya pemiliknya mengutamakan kesan simple dan minimalis, tapi tetap cantik untuk ditatap lama-lama. Aku membuka pintu dan disambut seorang pelayan yang kemudian mempersilakan duduk, setelah dijelaskan bahwa aku sedang menunggu seorang teman. Kupikir aku sudah terlambat, namun ternyata Yumi masih belum tiba. Kuputuskan untuk memesan segelas café latte dingin demi melunturkan dahaga di tenggorokan yang sudah menempel semenjak duduk di dalam bus.
Tidak sampai sepuluh menit pintu café terbuka lagi, terlihat sosok Yumi dibalik pintu. Pelayan yang tadi kembali menyambutnya, aku tak yakin apa yang mereka bicarakan. Kulambaikan tangan sambil memanggil nama Yumi, pelayan kemudian mempersilakan Yumi duduk di seberangku sambil menanyakan apa yang mau dipesan. Karena Yumi sudah datang, kuputuskan untuk memesan sepotong red velvet cake sambil mengira-ngira bahwa Yumi juga akan memesan black forest kesukaannya. Namun dia hanya memesan segelas orange juice saja. Setelah mencatat dan memastikan semua pesanan sudah sesuai, pelayan itu berlalu dari tempat kami.
Setelah bincang-bincang singkat menanyakan kabar masing-masing, aku bisa menangkap aura tak bergairah dari Yumi. Tidak seperti dirinya yang dulu, ceria dan bersemangat, Yumi yang ada di depanku seperti orang lain yang kebetulan berwajah sama namun jauh lebih kurus dan muram. Awalnya Yumi tidak mau berbicara banyak, dia hanya menjawab sekedarnya setiap pertanyaan yang kulempar, dan hanya sesekali bertanya balik bagaimana denganku sendiri. Disini aku sudah menangkap ada sesuatu yang tidak beres padanya.
Sedikit cerita tentang Yumi—seorang gadis periang yang sudah lama hidup sendiri. Kedua orang tuanya bekerja menjadi TKI di Taiwan sejak Yumi duduk di kelas 1 SD, dan sejak saat itu tidak pernah terdengar kabar apapun dari mereka. Selama ini Yumi hidup dengan neneknya seorang, dengan uang pensiun kakeknya yang telah lebih dahulu meninggalkan mereka. Adapun untuk mencukupi kebutuhan hidup, Yumi sering mengambil kerja part time di banyak tempat. Nah di tempat bekerjanya yang terakhir dia bertemu dengan calon suaminya, Max.
Maximillian adalah seorang pengusaha muda yang sukses dan disegani banyak orang, hanya saja dia begitu dingin dan kurang peduli dengan orang-orang. Aku sendiri tidak mengerti meskipun sudah berkali-kali diceritakan oleh Yumi tentang bagaimana mereka bisa menjadi dekat dan berakhir dengan ajakan untuk menikah. Tapi karena aku sendiri ternyata memiliki koneksi dengan Max, dimana pacarku David ternyata berteman baik dengannya. Karena aku sendiri sudah hampir 5 tahun berpacaran dengan David, serta melihat tidak ada yang buruk dengan Max, akupun senang dengan keputusan Yumi untuk menikah dengannya. Ada sih terbesit pemikiran apakah tidak terlalu dini bagi Yumi untuk membina hubungan, karena usianya saat itu belum genap 22 tahun. Namun mempertimbangkan usia Max yang sudah menginjak 27 tahun—2 tahun lebih tua daripada David, serta kariernya sendiri yang memang sudah semakin mapan, serta keinginan Yumi untuk bisa meringankan beban neneknya yang sudah tua dan lemah namun masih harus mengurusnya. Setidaknya jika menikah dengan Max, neneknya tidak perlu repot mengurusinya lagi, memasak dan mencuci pakaian untuknya, membagi uang pensiun kakek untuk 2 orang, bahkan bisa menambah uang saku dari Max.