Dust of the Dusk

Elsy Anna
Chapter #2

Chapter #1

Tidak ada yang lebih bahagia dibandingkan menyambut hangatnya sinar mentari di pagi hari. Embun menyapa dedaunan, kabut mengambang di lahan rerumputan ditemani bunga yang merekar dengan begitu cantik. Sinar mentari masih menyambut seluruh penghuni bumi dengan hangat, masih dalam mode pemanasan sebelum akhirnya tidak setengah-setengah menggosongkan apapun yang ada dibawahnya tanpa ampun dalam beberapa jam kedepan.

Pagi hari pun berarti satu hari melelahkan lainnya telah terlewati, mimpi-mimpi yang menemani tidur telah berlalu pergi; malam-malam yang panjang dan melelahkan juga telah usai.

Setidaknya itulah yang dirasakan oleh Yumi. Perempuan itu bangkit dari kasur, tubuhnya perlahan bergeser dari dekapan pelukan Max, telapak kakinya menyentuh parkit lantai, rasa dingin langsung menjalar hampir ke seluruh tubuhnya. Rambut sebahunya berantakan, mengumpul di atas kepala seperti membuat sarang. Dia berusaha menggunakan sela-sela jari untuk merapikannya. Jam yang menggantung di dinding seberang sudah menunjukkan pukul 5, waktunya untuk bangun dan mulai menyiapkan makanan untuk dia dan suaminya.

Yumi membuka daun pintu, sebisa mungkin tanpa suara. Setelah itu dengan sedikit tergesa dia berlari ke arah dapur. Ya, perang pertamanya untuk hari ini, bertempur melawan bahan makanan dan peralatan memasak. Tak lupa dia menyeka dulu wajah dengan air dari tempat pencucian piring, rasanya begitu dingin. Air seperti menampar wajahnya dengan keras—wajah kantuk dan raut lelahnya.

Yumi mulai mengambil beberapa buah kentang berikut alat pengupas, jari-jari kecilnya dengan sigap mengupas kulitnya satu demi satu. Ini bukan hal yang baru, sejak kecil dia sudah biasa memasak. Yah selama itu menu sederhana yang biasa dimakan sehari-hari, dia bisa melakukannya dengan cepat. Termasuk memodifikasi beberapa menu supaya menjadi lebih menarik dan menggugah selera. Namun jika sudah harus menuruti keinginan suaminya menyiapkan makanan lebih dari itu, seperti misalkan Big English breakfast, smokehouse bacon with ruffled scrambled, clam chowder, uncle Herschel’s, pecan pancake, brioche with fruit & yogurt parfait, tuna sandwich with avocado and egg cups, mixed berries smoothies bowl with corn waffles, coconut ganache, chicken longganisa, dan sebagainya; kepalanya langsung berputar-putar. Mungkin bagi Max menu-menu diatas termasuk menu yang tidak asing baginya, tapi bagi Yumi ini betul-betul diluar kemampuannya. Bisa dimaklumi, sebelum bertemu dan menikah dengan suaminya sekarang Yumi hanya hidup pas-pasan. Boro-boro bisa menikmati sarapan a.la hotel berbintang seperti diatas, bisa merasakan sarapan dengan sereal dan susu sudah termasuk mewah baginya.

Perbedaan ini awalnya sembuat Max bete, bahkan pernah ada rentang waktu dimana Max sendiri yang menyiapkan sarapan sesuai keinginannya untuk mereka berdua. Meskipun begitu, Max tidak pernah secara langsung marah kepada Yumi. Dia mengerti bahwa inilah salah satu dari beberapa hal lainnya yang tentu akan menjadi masalah diantara mereka setelah pernikahan.

Belakangan, ketika pekerjaan Max semakin menggila, dia jadi malas untuk bangun pagi hanya untuk menyiapkan sarapan sesuai seleranya. Bisa dimengerti, tidur pukul 1 hingga 2 pagi kemudian pada pukul 5 sudah harus siap dibelakang dapur memasak menu sarapan sesuai harapannya tentu terasa berat, bahkan mungkin untuk hampir semua orang. Sejak itu dia mempersilahkan Yumi memilih menu sarapannya, selama itu bukan ayam goreng lengkuas ataupun rawon daging sapi selayaknya menu makan siang, dia tidak keberatan. Toh, Yumi sendiri terus berusaha untuk menyajikan menu sarapan agar bisa semakin mendekati level Max.

 

Hari ini dia akan membuat harsh brown dengan sunny side up. Meski tampilan telurnya tentu masih jauh dibandingkan sajian di restoran maupun hotel, setidaknya dia berusaha sekuat tenaga untuk tidak menggorengnya hingga muncul warna kecokelatan, dan setidaknya bagian merah telur masih terposisi sempurna di tengah.

Baru saja dia memecahkan telur ke atas Teflon, tiba-tiba terasa sepasang tangan memeluk pinggangnya.

“Selamat pagi, Sayang.” Max mengecup leher Yumi.

“Pagi, kamu sudah bangun?” tanya Yumi sambil tangan kanannya sibuk memegang spatula dan tangan kirinya memegang Teflon. Hampir saja keduanya dilempar sangking kagetnya dengan perlakuan Max. Meskipun bukan hal yang baru, tetap saja jika tiba-tiba ada yang memeluk tubuhmu dan mencium salah satu bagian sensitifnya dari arah belakang padahal sebelumnya tak ada suara apapun pasti akan membuat jantung siapapun lompat.

“Kamu cepet banget sih perginya? Aku kan masih butuh kehangatan kamu.” Ucap Max. Tangan dan bibirnya semakin agresif menjelajahi tubuh Yumi. Tinggi Yumi memang sebatas kuping Max, meskipun begitu massa tubuh Max jauh lebih besar dibandingkan dirinya.

“Sudah pagi, kalau tidak buru-buru kamu akan kesiangan sampai di kantor nanti.” Tubuh Yumi bergerak gelisah sambil tetap berusaha untuk tetap tenang.

“Memang menu makan kita pagi ini apa?” Max berhenti menciumi tubuhnya. Kini dia merasa sebuah dagu ditopang diatas pundak dengan sepasang tatapan lurus memandangi kompor.

“Kemarin kamu bilang ingin makan harsh brown karena melihat menu di restoran cepat saji kan? Aku mencoba membuatnya sebisaku. Oh ya karena kamu butuh protein kubuat telor ceplok juga.” Yumi bersiap untuk memindahkan telor ke atas piring, namun tubuhnya terkunci dalam pelukan Max. Menyerah, Yumi pun hanya mengangkat spatula dengan Teflon setinggi pundaknya, mengisyaratkan Max supaya minggir agar dia bisa melanjutkan kegiatannya.

Entah Max yang masih ingin menempel padanya, atau sesungguhnya dia tertidur lagi di posisi itu, Yumi masih bisa merasakan berat tubuh suaminya itu tetap menopang padanya.

“Max?” seru Yumi pelan.

Max melepaskan pelukannya, “Maaf. Ngg.. kita punya kopi apa untuk pagi ini? Aku ingin grounded coffee dicampur roasted almond dengan sedikit gula dan peppermint. Hari ini ada meeting besar di kantor.” Max berjalan ke sisi kompor, membuka satu demi satu cabinet dapur mencari apa yang diinginkannya.

Yumi terdiam, dia mengerti apa yang diucapkan barusan, tapi dia bingung bagaimana harus meramunya agar pas dengan selera Max. Pura-pura tidak mendengar saja dan lanjutkan plattingnya.

Lima belas menit kemudian Max membawa dua gelas kopi sesuai harapan dan meletakkannya di sebelah piring untuknya dan istrinya. Yumi menyeruput kopinya sedikit, kemudian mengernyit. Rasanya aneh. Tapi dia diam saja.

 

“Untuk makan malam aku ingin mapo tofu dan udang goreng telor asin, tapi sepertinya hari ini akan sedikit terlambat pulang. Bagaimana kalau kita makan sup wonton dan mie dengan kuah kaldu ayam panas? Kita punya stok terigu di rumah?” tanya Max sambil menyantap menu sarapannya. Telor di atas piring sudah habis, tersisa beberapa suap harsh brown.

“Masih ada, tetapi aku kehabisan stok kuah kaldu. Mungkin aku akan kepasar begitu kamu berangkat kerja nanti.” Ucap Yumi sambil menikmati masakannya perlahan.

“Oh, ya? Kamu jangan ke pasar, pergi ke fresh market aja. Kamu ambil kartu memberku di samping lemari di kamar sebelah kiri kasur ya. Bisa dapat diskon, apalagi aku kenal manager disana. Oh, kurasa aku juga kenal pemiliknya, baru bulan kemarin kami meeting bersama.” Max menyeruput kopinya sampai habis, kemudian dengan keheranan memperhatikan ujung gelas seakan tidak percaya kopi itu sudah habis.

“Baiklah. Kamu mau air putih?” Yumi menawarkan termos air putih ke arah Max. Max pun menyodorkan gelas yang sudah kosong itu.

“Beli semua yang kamu inginkan, tolong lihat juga stok makanan apakah masih ada atau sudah mau habis. Setelah itu langsung pulang ya, jangan berkeliaran kemana-mana. Aku gak mau terjadi apa-apa sama kamu.” Ucap Max sambil berdiri dari kursi, menghampiri istrinya dan mendaratkan kecupan di kening, setelah itu menuju kamar mandi.

 

***

 

Siang itu hujan turun dengan lebat. Siapa yang menyangka bahwa hujan akan menyapa di pertengahan tahun seperti sekarang. Padahal Yumi sudah bersiap-siap untuk pergi; mengenakan kaos berwarna putih dengan jeans pensil yang menutupi 7/8 kakinya. Rambut sebahunya diikat ekor kuda, meski begitu dia tidak bisa berbuat apa-apa atas rambut-rambut kecil yang mulai tumbuh liar disekitar kening dan telinga kanan-kiri. Yumi mencolek cream wajah di atas meja rias, memenuhi beberapa titik di wajahnya baru kemudian dipoles dengan merata ke seluruh wajah. Dia tidak sempat memperhatikan arah jendela, baru ketika dia bersiap mengambil kantong belanjaan di sisi jendela ruang tamu, dia melihat hujan sudah membasahi kaca apartemennya.

 

Yah, hujan. Batin Yumi.

Dia meletakkan lagi kantong belanjaan ke dalam lemari kecil di samping televisi, kemudian lebih mendekati jendela di sebelahnya dan menatap cukup lama ke arah luar. Pemandangan di apartemen ini memang sangat hebat, pada sudut ini kita bisa menyaksikan hamparan laut dan pasir di pantai dengan begitu jelas. Tentu saja, apartemennya berada di puncak gedung, di lantai 48—unit termahal dan prestigious di tempat itu. Sudah 1 tahun mereka pindah ke tempat itu. Max memang memiliki sebuah rumah mewah lainnya tidak jauh dari apartemen ini, sekitar 2-3 km saja. Di bulan-bulan pertama setelah menikah, mereka berdua menempati istana mewah itu. Namun setelah adiknya menyelesaikan kuliah diploma satunya di Amerika Serikat kemudian kembali ke Jakarta untuk membantu di kantor, serta ibunya yang tetap tidak mau membeli rumah dengan alasan harus bulak-balik Hong Kong-Jakarta, Max jadi agak risih jika harus tinggal bersama-sama. Itulah alasan dia langsung mencari apartemen mewah yang luas, merombak habis desain interior termasuk mengisi segala perabotan dan peralatan ke apartemen itu, kemudian membawa Yumi untuk tinggal disana berdua. Bagi Max, privasi adalah segalanya. Meskipun mereka adalah adik kandung maupun ibunya, dia merasa risih jika harus tinggal bersama. Max terbiasa hidup sendiri sejak masih sekolah, adiknya menghabiskan masa sekolah dan universitas di luar negeri, ibunya memiliki rumah mewah di daerah Kowloon, Hong Kong berikut bisnis fashion dan event organizer kelas jetset disana yang mengharuskan lebih banyak berada di Hong Kong dibandingkan Jakarta. Tak heran jika keluarganya itu tak jauh berbeda dengan orang asing, karena mereka jarang bertemu. Lama-lama Max sudah masuk dalam fase terlalu nyaman dengan kesendirian. Bahkan diawal-awal pernikahan, beberapa kali Max terlihat risih jika berpapasan dengan Yumi di dalam rumah.

Sifat menjunjung tinggi privasi a.la Max ini juga menguntungkan bagi Yumi. Bayangkan, tinggal di rumah seluas istana itu sendirian, apalagi Max tidak menginginkan ada asisten yang berkeliaran di rumah sehingga Yumi harus membereskan rumah sendirian setiap hari, rasanya bisa dimengerti jika dia jadi enggan. Bukan berarti malas, hanya saja luas rumahnya tidak masuk akal jika harus dibersihkan sendirian, belum lagi pekarangan depan dan belakang rumah yang juga tak kalah besarnya. Yumi terkadang bingung, bagaimana Max menangani semua ini sendirian dulu, apalagi dia juga termasuk orang yang datang ke kantor tepat waktu setiap hari, termasuk hari Sabtu dan terkadang di hari Minggu. Perpindahan ke apartemen ini—meskipun unitnya juga luas dan besar, namun tetap tidak sebesar rumah—setidaknya masih sanggup ditangani sendirian.

Mata Yumi menatap kosong dengan tubuhnya bersender ke jendela yang besar itu, menyesali hujan yang entah mengapa menyapa mereka di saat seperti ini. Baginya, pergi berbelanja adalah salah satu hal yang ditunggu-tunggu. Berada sendirian di apartemen seluas ini, setiap hari, tentu menjemukan.

Max membebaskan Yumi untuk melakukan apapun di dalam apartemen; menonton drama Korea secara marathon, scrolling atas-bawah website jual beli online, karaoke sekencang-kencangnya, menenggelamkan diri di perpustakaan pribadi dengan jejeran ratusan buku di ruang baca; terdapat meja billiard di lantai atas, piano klasik di samping sofa besar di ruang tengah, hingga set golf mini di samping ruang tamu; semuanya lengkap tersedia. Toh, seluruh satu lantai gedung ini adalah hunian mereka, apalagi karena langit-langitnya yang sangat tinggi menjulang ke atas, Max membelah hunian hingga seakan terdiri dari dua tingkat. Jadi selama Yumi tidak berjingkrak-jingkrak atau melompat-lompat, tidak mungkin ada orang yang akan terganggu dengan kegaduhan dan kebisingan dari aktivitas di dalam. Yumi juga tak berkekurangan uang, menjadi istri seorang pengusaha muda dan sukses serta akses untuk uang yang memadai tentu tidak akan membuatnya berpikir dua kali jika ingin memesan barang apapun dari sebuah situs belanja.

Lihat selengkapnya